Hujan turun pelan membasahi batu nisan. Aroma tanah menguar membawa serta harum melati di atas pusaran. Ia menunduk diam tanpa mengucapkan sepatah katapun sejak tadi. Di tangannya, sebuah buku berwana pink dengan pita cantik yang menghiasi.
Itu adalah miliknya. Milik gadis itu.
Tangannya sedikit gemetar tatkala membuka sebuah halaman yang ditandai dengan lipatan kecil. Tulisan latin yang indah dan tak asing itu menyalurkan getaran emosi. Hanya sebaris puisi sederhana tetapi baginya bagaikan panggilan suara dari balik waktu.
"Jika aku tak dapat menatapmu lagi esok,
biarkanlah jejakmu tetap hidup di ingatanku.
Karena mencintaimu... bahkan tanpa balasan,
adalah bentuk paling sunyi dari bahagia."
Setiap kata yang meresap ke dada, menusuknya perlahan. Bukan karena luka baru atas kehilangan, tapi karena luka lama atas penyesalan yang tak akan pernah sembuh.
Tetes air mendarat di halaman itu. Mungkin dari rintik hujan. Atau mungkin... bukan.
–11 Mei 2025–
YOU ARE READING
The First and Last
Teen FictionPada akhirnya, aku hanya gadis yang memandangi dia dari kejauhan. Bahkan hingga saat terakhir kali aku menatapnya. -Fellya
