Prolog: Pertemuan di bawah Hujan

Mulai dari awal
                                        

Liana menggigit bibirnya, menatap cangkir di tangannya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Haruskah ia jujur? Atau haruskah ia menyembunyikan kenyataan?

Ray tersenyum kecil. "Kau tidak perlu menjawab kalau tidak mau."

Liana menghela napas. "Aku hanya... sedang berpikir tentang hidup."

Ray mengangguk pelan, seolah mengerti lebih dari yang Liana katakan. "Kadang kita terlalu sibuk memikirkan hidup sampai lupa menjalaninya."

Liana menatapnya. "Kau selalu berpikir seperti itu?"

Ray menyeringai. "Aku hanya tidak ingin menyesal. Karena hidup ini terlalu singkat untuk tidak menikmati setiap momennya."

Liana merasakan sesuatu dalam hatinya bergetar. Kata-kata Ray menyentuh sesuatu yang selama ini ia abaikan-keinginan untuk tetap hidup, bukan sekadar bertahan.

Saat itu, ia sadar... mungkin pertemuan ini bukan kebetulan.

Mungkin, Ray adalah orang yang dikirim semesta untuk mengajarinya cara benar-benar hidup.

Malam itu, setelah hujan reda, Ray mengantarkan Liana pulang. Mereka berjalan berdampingan, menikmati udara sejuk setelah hujan. Langkah mereka lambat, seolah ingin memperpanjang waktu kebersamaan.

"Aku sering melihatmu di taman dekat rumah sakit," kata Ray tiba-tiba. "Kau sering duduk di bangku dekat pohon besar itu, sendirian."

Liana terkejut. "Kau memperhatikanku?"

Ray mengangguk sambil tersenyum. "Aku sering ke sana untuk menggambar. Aku suka mengamati orang-orang. Tapi kau berbeda. Ada sesuatu di matamu... seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu yang hilang."

Liana terdiam. Ia tidak tahu apakah ia harus terkejut atau tersentuh.

Ray melanjutkan, "Aku pernah berpikir untuk menyapamu, tapi kau selalu terlihat begitu jauh. Aku tidak tahu kenapa, tapi hari ini... aku merasa harus melakukannya."

Liana menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihatnya-bukan hanya sebagai gadis yang sakit, tetapi sebagai seseorang yang masih memiliki impian, harapan, dan keinginan untuk hidup.

Saat mereka sampai di depan rumah Liana, Ray berhenti dan menatapnya dengan serius. "Liana, apa kau mau bertemu lagi besok?"

Liana ragu. Ia tahu waktunya semakin sedikit. Ia takut terlalu terikat, takut membuat seseorang kecewa ketika ia tidak bisa lagi ada di sini.

Namun, saat melihat mata Ray yang penuh harapan, kata-kata itu keluar begitu saja. "Ya."

Ray tersenyum lebar. "Baiklah, sampai jumpa besok."

Ia melangkah pergi, meninggalkan Liana yang masih berdiri di depan rumahnya. Hatinya terasa lebih ringan dari sebelumnya.

Mungkin, untuk pertama kalinya sejak menerima kabar buruk itu, ia ingin melihat hari esok.

Dan semua itu karena Ray.

Keesokan harinya, Liana datang ke taman tempat Ray sering menggambar. Pohon besar yang biasa menjadi tempatnya duduk masih berdiri kokoh, daunnya berkilau terkena sisa hujan kemarin. Ia menunggu, jemarinya menggenggam erat ujung jaketnya, merasa gugup tanpa alasan yang jelas.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Liana!"

Ia menoleh dan melihat Ray berlari kecil ke arahnya, membawa sebuah buku sketsa di tangannya. Wajahnya tampak cerah, seolah kehadiran Liana adalah sesuatu yang sudah ia nantikan.

"Kau datang," katanya sambil tersenyum.

Liana mengangguk. "Aku penasaran dengan gambarmu."

Ray tertawa kecil lalu duduk di sebelahnya, membuka buku sketsanya dan memperlihatkan halaman-halaman berisi berbagai gambar-pemandangan taman, wajah orang-orang yang pernah ia temui, dan beberapa sketsa yang tampak seperti dirinya.

Liana terkejut. "Ini... aku?"

Ray menggaruk kepalanya sambil tersenyum malu. "Aku sering melihatmu di sini, jadi aku menggambar tanpa sadar. Maaf kalau terasa aneh."

Liana menatap sketsa dirinya-siluet seorang gadis yang duduk sendirian di bawah pohon, matanya menerawang jauh. Melihat gambar itu membuatnya sadar betapa kesepian dirinya selama ini.

Ray menutup bukunya. "Aku ingin menggambar sesuatu yang baru hari ini."

"Apa?"

Ray menatapnya dengan mata penuh semangat. "Senyummu."

Liana terdiam. Sudah lama ia tidak mendengar seseorang berkata seperti itu padanya.

Ray menyodorkan pensil dan buku sketsanya padanya. "Bagaimana kalau kau yang menggambar kali ini? Aku ingin melihat seperti apa dunia dari matamu."

Liana ragu. "Aku tidak bisa menggambar."

"Bukan soal bagus atau tidak," kata Ray, "ini soal merasakan."

Liana mengambil pensil itu, merasa tangannya sedikit gemetar. Ia mulai menggerakkan pensilnya perlahan di atas kertas, mencoba menggambar sesuatu yang sederhana-sebuah pohon besar dengan dua orang duduk di bawahnya. Salah satu dari mereka tersenyum lebar.

Ray melihatnya dan tertawa. "Itu aku, kan?"

Liana tersenyum kecil. "Mungkin."

Mereka menghabiskan sore itu dengan menggambar dan bercanda. Untuk pertama kalinya, Liana merasa waktu berjalan lebih lambat. Seakan-akan, dunia memberinya kesempatan untuk menikmati setiap detik yang tersisa.

Dan saat matahari mulai terbenam, Liana berpikir... mungkin, jika ada alasan untuk terus tersenyum, maka ada alasan untuk terus hidup.

Mungkin, Ray adalah alasan itu.

***

Bersambung....

Seru? Next ke bab selanjutnya

Jangan lupa komen dan vote dengan cara pencet bintang yang berada dibawah, ya. Terimakasih😊

Langit yang tak lagi Sama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang