Prolog: Pertemuan di bawah Hujan

28 3 3
                                        

༶•┈┈⛧┈♛Happy Reading♛┈⛧┈┈•༶

Hujan turun, aku berdiri di sini,
Menunggu jawaban dari takdir yang sunyi.
Jika kau datang membawa cahaya,
Maukah kau tetap tinggal selamanya?


Langit mendung sore itu, rintik hujan turun membasahi jalanan yang basah. Di antara keramaian kota yang sibuk, seorang gadis berdiri di bawah pohon besar, melindungi dirinya dari hujan yang semakin deras.

Namanya adalah Liana.

Ia baru saja pulang dari rumah sakit setelah menerima kabar yang mengubah seluruh hidupnya.

Penyakitnya semakin parah. Waktunya semakin sedikit.

Namun, di tengah pikirannya yang kacau, tiba-tiba seseorang berlari melewatinya, tanpa payung, tanpa peduli dengan hujan yang mengguyur tubuhnya.

Seorang pemuda.

Ia berhenti tepat di depannya, tertawa kecil sambil mengibaskan air dari rambutnya.

"Kenapa berdiri di situ saja?" tanyanya.

Liana menatapnya bingung. "Aku tidak membawa payung."

Pemuda itu tersenyum. "Lalu kenapa tidak berlari? Hujan seperti ini bukan untuk ditunggu, tapi untuk dinikmati."

Liana terdiam.

Pemuda itu mengulurkan tangannya. "Namaku Ray."

Seolah tersihir oleh sorot matanya yang penuh semangat, Liana pun menjabat tangannya. "Liana."

Ray tersenyum lebih lebar. "Ayo."

Tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan Liana, membawanya berlari di bawah hujan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Liana merasa bebas.

Ia lupa akan rasa sakitnya. Ia lupa akan ketakutannya.

Yang ia tahu, sore itu, di bawah langit yang mendung, ia bertemu dengan seseorang yang mungkin akan mengubah hidupnya.

Seseorang yang tanpa ia sadari, akan menjadi alasan terakhirnya untuk tetap tersenyum.

***

Liana berlari mengikuti langkah Ray, merasakan dinginnya air hujan membasahi kulitnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa rapuh. Ia tidak merasa seperti seorang gadis yang sedang menunggu akhir.

Ray tertawa lepas, dan suara tawanya seolah membawa kehangatan di tengah hujan yang mengguyur. Liana ikut tertawa, meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran yang tak terucapkan.

Setelah beberapa saat, mereka berhenti di depan sebuah kedai kopi kecil dengan jendela berembun. Ray mendorong pintunya dan menoleh ke Liana. "Kau suka kopi?"

Liana mengangguk ragu. "Aku lebih suka teh."

Ray terkekeh. "Baiklah, kalau begitu aku akan traktir teh termanis yang ada di sini."

Mereka masuk, dan aroma kopi serta kayu manis langsung menyambut mereka. Liana merasa hangat, bukan hanya karena suhu di dalam ruangan, tetapi juga karena kehadiran Ray.

Mereka duduk di dekat jendela, menatap hujan yang masih turun di luar. Ray menyeruput kopinya, sementara Liana menikmati teh hangat yang Ray pesan untuknya.

"Jadi, Liana... kenapa kau terlihat begitu sedih sebelum aku datang?" Ray bertanya, suaranya lembut, namun cukup tajam untuk menusuk ke dalam hati Liana.

Langit yang tak lagi Sama Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt