The Red String

7 0 0
                                        

Tawila Nurdiar sadar bahwa saat ini raut wajahnya pasti sangatlah konyol. Dengan mata berbinar, wajah semerah tomat, dan bibir yang terus berkedut menahan senyuman, ia melangkahkan kaki memasuki rumah. Wila tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dadanya terasa seperti ingin meledak. Layaknya ada ribuan serangga siap membuncah keluar.

"Iya deh yang lagi kasmaran, mah."

Wila buru-buru menetralkan ekspresinya saat mendengar celetukan sarat akan godaan itu. Ia menoleh ke arah ruang makan, menemukan adiknya—Zahra mesem-mesem dengan bertopang dagu. Di seberangnya, Zafran jelas tidak terlihat mesem-mesem. Raut mukanya kecut. Asem.

Usut punya usut, anak narsis itu iri dengan kepopuleran yang Panji raup dari gadis-gadis komplek—meskipun ia sama sekali tak berniat begitu. Kini, yang disapa dengan semangat 45 bukan hanya Zafran, tetapi juga Panji. Petty is one of Zafran's strong suits. Wila suka merasakan mixed feelings antara kasihan dan geli tiap melihat Zafran melemparkan tatapan sengit kepada pacarnya.

Pacar.

Sebelum pikiran itu kembali membuat Wila berseri-seri, Zafran sudah keburu berdecak, sebal.

"Sekarang konotasi 'sudah jatuh, ketiban tangga' udah bukan negatif, nggak bisa dipakai buat kalau ada yang kena sial."

"You're saying?" Zahra meledek.

"Kasusnya Kak Wila, mah, beruntung." Balas Zafran berapi-api. "Berantem sama kucing, dapat majikannya."

Wila menahan gelak tawa yang berusaha menyerobot keluar, anak itu jika diladeni justru akan semakin buat masalah. Memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kamar, ia meninggalkan kedua adiknya, membiarkan mereka dimarahi Bunda apabila adu mulut yang mereka lakukan terdengar semakin keras.

Dua bulan terakhir ini terasa seperti mimpi bagi Wila. Semenjak pertemuan-pertemuan kecil antara dirinya dan Panji untuk sekadar mengobrol dan bicara tentang kondisinya, entah bagaimana semua itu berubah menjadi kencan-kencan tak terencana. Wila, sih, tidak komplain.

But it still feels unreal.

Hari ini sangat spesial untuknya. Bukan hanya karena ia dan Panji baru saja menyelematkan anak-anak kucing yang ditelantarkan oleh pemiliknya di pinggir jalan besar. That felt good. Tetapi, jalanan itu...

Melemparnya pada kenangan di waktu yang berbeda. Wila bersimpuh di sana, dengan nuansa yang sama, dan bersama orang yang sama.

Di hari lain, bertahun-tahun yang lalu, Wila berjongkok berusaha mengumpulkan tiga anak kucing ke dalam pelukannya. Terlindungi dari gerimis yang mulai mencium tanah, bernaung di bawah payung yang digenggam oleh sosok tinggi—yang muncul entah dari mana. Di hari itu, Wila menoleh dan berhadapan langsung dengan tubuh berbalut seragam sekolah dengan nametag terjahit di sisi kanan.

Panji Ganakarta.

Semua orang tidak akan tahu betapa déjà vu kecil yang Wila alami amat mengguncang harinya. But they can, though. Wila menyeringai, meraih laptop, kemudian duduk di tempat paling sakral di sudut kamarnya. Ribuan ide berputar di kepalanya. Namun, hanya ada satu cara untuk memulai ceritanya yang baru. Bersama dengan jantungnya yang berdentam hebat, ia mulai mengetik;

Aku jatuh cinta lagi.

The End

When It Rains, It PoursWhere stories live. Discover now