Sua tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Aku nggak pernah merasa kesusahan jaga Euna. Lagi pula, aku bersyukur bisa jagain dia. Kalau nggak ada Euna, Raon nggak punya teman main, dan aku juga nggak bisa urusin urusan rumah sebaik ini. Euna itu sering banget membantu."
Chanhee merasa sedikit lega mendengar itu, tapi ia tetap tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya. "Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa kurang fokus untuk Euna."
Sua menggeleng, tidak setuju. "Menurutku, kamu sudah bagi fokus dengan baik. Kamu kerja keras tapi tetap nggak lupa urus Euna. Buktinya, kamu langsung pulang begitu dengar dia sakit. Aku tahu jadi orang tua tunggal nggak mudah, tapi kamu hebat, Euna Appa."
Perkataan Sua membuat Chanhee tersenyum tipis. "Terima kasih."
Sua melihat jam tangannya. "Aku harus jemput Raon. Mau titip sesuatu?" tanyanya sambil berdiri.
"Nanti kalau ada, aku kabarin," jawab Chanhee.
Sua tersenyum dan melambaikan tangan. "Kabarin juga soal Euna, ya!"
Chanhee mengangguk. "Hati-hati, Raon Eomma."
Setelah Sua pergi, Chanhee melepas jas dan jam tangannya, lalu meletakkannya asal di sofa. Ia kembali ke dapur untuk memasak.
"Biasanya kalau sakit, Euna maunya nasi goreng," gumamnya sambil mulai menyiapkan bahan-bahannya.
———
Sore itu, Haechan memutuskan untuk pulang kerja dengan berjalan kaki. Sejak pagi, ia memang tidak membawa kendaraan. Hari ini adalah jadwal olahraga mingguannya, tetapi pekerjaannya yang menumpuk membuatnya terpaksa melewatkan sesi olahraga. Setelah seharian duduk di kursi dan menatap layar laptop, badannya terasa kaku, dan matanya pun semakin lelah. Maka dari itu, berjalan kaki sepulang kerja menjadi pilihan yang tepat untuk menggerakkan tubuhnya.
Meskipun begitu, Haechan tidak pernah menyalahkan pekerjaannya. Dia memilih jalan hidup ini dengan sadar—hidup yang selalu diimpikannya. Sedikit lagi, ia akan mencapai kesuksesan yang selama ini ia perjuangkan. Pikiran itu selalu membuatnya bersemangat setiap kali ia merasa lelah.
Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba memanggilnya.
"Permisi," suara seorang pria memecah kesunyian di trotoar.
"Saya?" Haechan menunjuk dirinya sendiri, memastikan bahwa pria itu memang berbicara kepadanya.
"Iya, kamu," jawab pria itu sambil tersenyum lebar.
"Ada perlu apa, Pak?" tanya Haechan tanpa ragu.
"Saya mau menawarkan obat dengan manfaat yang bagus. Berminat?"
"Obat? Maksudnya obat apa?"
"Obat ini bisa menambah nafsu makan dan menghilangkan depresi," jelas pria itu.
Haechan memutar bola matanya, mendesah pelan. "Sial, sekarang aku target mereka juga?" pikirnya. Namun, ia tetap tersenyum, berusaha menjaga sikap.
"Pak, muka saya kelihatan kurus, ya? Atau saya terlihat malas makan? Mungkin depresi?" tanyanya dengan nada bercanda.
Pria itu hanya tersenyum sambil berkata, "Saya cuma menawarkan. Siapa tahu Anda butuh."
Tiba-tiba, sebuah ide gila melintas di kepala Haechan. "Berapa harganya?" tanyanya.
Setelah membeli obat itu, Haechan melanjutkan perjalanan pulang.
“Kamu beli obatnya?!” tanya Areum dari seberang telepon, terdengar terkejut dengan keputusan Haechan.
Haechan duduk di sofa sambil meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menyalakan pengeras suara panggilan, lalu mulai mengeringkan rambutnya.
“Aku tiba-tiba punya ide,” ucap Haechan santai. “Kamu kan punya saudara yang kerja di MFDS, kan? Aku butuh bantuan.”
Areum mendengus. “Coba jelasin dulu ide gilamu itu apa?”
“Aku mau laporin orang itu. Aku sempat foto wajahnya. Ya, walaupun dia pakai masker dan topi, tapi setidaknya aku punya bukti fotonya.”
“Kamu serius, Haechan? Jangan cari masalah, deh,” balas Areum, terdengar ragu.
“Dengerin dulu,” potong Haechan dengan nada tegas. “Aku belum selesai ngomong.”
“Oke, oke. Lanjut,” sahut Areum pasrah.
“Aku butuh bantuan saudaramu di MFDS. Aku sudah punya obatnya. Sekarang tinggal kita periksa apakah obat itu berbahaya atau nggak.”
Areum menghela napas panjang. “Haechan, kamu beneran gila. Kamu benar-benar nggak takut kena masalah?”
“Kalau kamu nggak mau bantu, nggak apa-apa. Aku bisa sendiri kok,” ucap Haechan dengan nada lebih serius. “Aku cuma nggak mau orang lain bernasib sama kayak Haneul.”
Areum mendengus frustrasi. “Haechan, kamu tuh—”
“Iya, aku tahu,” potong Haechan cepat. “Aku selalu khawatirin orang lain. Aku juga tahu, daepyo-nim udah tegur aku berkali-kali soal ini. Jadi, tolong kamu jangan ikut-ikutan negur aku juga.”
Areum tertawa kecil. “Aku belum negur, kok.”
“Bagus. Kalau gitu, jangan,” jawab Haechan, suaranya terdengar penuh canda.
Areum terdiam sejenak sebelum akhirnya menyerah. “oke. Aku bantu. Besok kita bawa obat itu ke MFDS.”
Haechan tersenyum puas. “Terima kasih, Areum-ah!”
“Nanti aku kabarin lagi kalau saudaraku setuju, ya.”
“Oke, kabarin aku, ya!”
Setelah panggilan berakhir, Haechan bersorak kecil. Rencananya mulai berjalan sesuai ekspektasi. Meski belum ada bukti pasti, ia yakin obat itu menyimpan sesuatu yang mencurigakan.
Ia membuka galeri ponselnya dan memperhatikan foto pengedar yang diam-diam ia ambil tadi. Wajah pria itu memang sebagian besar tertutup masker dan topi.
“Kira-kira tukang edit bisa nggak ya hapus masker sama topinya?” gumam Haechan sambil tertawa kecil.
Dasar Haechan dan ide gilanya.
———
To Be Continued.
TMI:
MFDS (식품의약품안전처) adalah lembaga resmi di Korea Selatan yang mengawasi keamanan obat, makanan, dan produk kesehatan.
YOU ARE READING
Run And Hide
ActionDi jantung kota Seoul yang megah, sebuah obat ilegal mulai menyebar secara diam-diam. Awalnya ditawarkan sebagai sampel gratis dengan janji efek samping yang menakjubkan, obat itu perlahan membuat penggunanya kecanduan. Namun, di balik manfaat semen...
02. distributor
Start from the beginning
