Adnan berdiri kemudian menyambut sang adik dengan pelukan hangat. "Gimana kabar Vya?" tanyanya mengusap puncak kepala Navya. Daffi yang melihat itu tersenyum dalam diam melihat interaksi istrinya dan kakak iparnya itu.

"Baik, Alhamdulillah," jawab Navya semangat.

Adnan membawa Navya duduk di sebelahnya. Lalu memberikan makanan yang adiknya itu inginkan dan diterima dengan senang hati. Sementara Navya fokus pada cemilan di tangannya Daffi dan Adnan bicara seputar pekerjaan dan hobi mereka.

"Kafe yang waktu itu saya bilang udah selesai di renovasi. Kamu tinggal mikirin konsepnya mau dibikin kayak gimana, kalau ada yang kurang kasih tau saya atau hubungi Alex," jelas Daffi tiba-tiba.

Ekspresi terkejut tidak bisa Adnan sembunyikan. "Daff, gak usah, beneran," cetus pria itu menolak.

"Gak usah pikirin dananya, Nan. Oke kalau kamu keberatan saya ngasih itu, kamu bisa anggep ini sebagai pinjaman. Kamu bebas bayar kapan pun dengan jumlah berapa pun tanpa batas waktu."

Adnan menghela napasnya pelan. Ia tidak menyangka jika Daffi sungguh-sungguh membelikannya kafe lengkap dengan isi-isinya.

Adnan merasa ini berlebihan, Daffi tidak perlu membantunya sebesar ini. Adnan sudah tenang pria itu menjaga adiknya dengan sangat baik. Adnan sungguh tidak membutuhkan apapun lagi dari adik iparnya itu. Gaji dari pekerjaannya yang sekarang sudah lebih cukup untuk membiayai hidupnya sendiri.

"Daff--"

Seakan tidak membiarkan Adnan menyanggah, Daffi melanjutkan ucapannya. "Saya ngelakuin ini karena Navya, Nan." Daffi menatap istrinya yang juga tengah menatapnya. "Saya akan ngelakuin apapun biar Navya tenang dan bahagia. Dan saya tau kalau kamu itu salah satu kebahagiaan Navya dan salah satu orang berharga bagi Navya. Jadi, saya minta tolong kerja samanya."

Navya melengkungkan senyum haru hingga matanya berkaca-kaca. Merasa sangat beruntung dicintai sebesar ini oleh suaminya. Yang tidak hanya menyayanginya tetapi juga menyayangi orang terdekat Navya. "Makasih, Mas," ucap Navya tanpa suara yang dibalas senyuman serta anggukan oleh Daffi.

"Jadi?" Daffi mengalihkan pandangan pada Adnan yang tampak mempertimbangkan keputusannya. "Kalo kamu setuju, kita bisa langsung ke notaris buat tandatangan surat pemindahan kepemilikan. Saya gak bermaksud bikin kamu tersinggung dengan bantuan ini, saya cuma ingin ngelakuin yang terbaik buat keluarga saya," ucapnya tulus.

"Mas, diterima aja ya. Vya bakalan seneng dan sering main nanti ke kafenya Mas." Navya ikut membujuk dengan tatapan memelasnya.

"Yaudah," putus Adnan. "Saya terima."

Mendengar itu Daffi tersenyum puas, begitu pun Navya yang langsung memeluk kakaknya itu.

"Saya hubungi pengacara saya dulu baru setelah itu kita ke kantor notaris. Terakhir baru ngeliat kafe itu."

Adnan mengangguk paham. Ia mengucapkan terima kasih dengan tulus yang disambut hangat oleh adik iparnya itu.

"Vya ikut ya, Mas? Mau ngeliat kafenya juga."

"Boleh, Sayang. Yuk, kita ganti baju dulu."

Navya bangkit dari duduknya dan pamit pada Adnan. Adnan menatap punggung Navya dan Daffi yang setia merangkul bahu istrinya itu menjauh. Sudut bibir Adnan tertarik ke atas. "Mas bersyukur banget kamu udah bahagia, Dek. Mas udah tenang sekarang ngeliat Daffi secinta itu sama kamu. Bahagia terus ya, Vya, ayah sama ibu pasti ikut bahagia di atas sana," gumamnya berkaca-kaca.

***

"Bunda jadi ke sini, Mas?"

"Jadi, Sayang. Barusan Mas hubungi katanya lagi di jalan."

I'm With You || EndМесто, где живут истории. Откройте их для себя