Mata Indo terbuka lebar, jantungnya berdetak kencang di dalam dadanya. Suara napasnya yang pendek dan tak beraturan memenuhi ruangan saat ia menatap ke langit-langit—sebuah tapestry mewah berupa lengkungan daun emas dan awan yang dilukis di atas langit biru cerah. Cahaya pagi mengalir melalui tirai tipis, melukis ruang itu dengan pancaran lembut keemasan.
Sesaat, ia tidak bisa bergerak, tubuhnya lumpuh oleh keanehan udara yang terasa akrab di sekitarnya. Aroma melati mengambang lembut, membangkitkan kenangan lama seperti nada samar dari melodi yang hampir terlupakan.
Indo: (berbisik) "Tidak... Tidak mungkin."
Ia berkedip cepat, tatapannya terpaku pada pola surgawi yang terukir di langit-langit. Rasanya seperti fragmen mimpi yang tidak lagi bisa ia satukan.
Indo duduk dengan terguncang, dadanya naik turun saat ia memindai ruangan. Segalanya persis seperti dulu—tirai beludru menjuntai di atas kanopi tempat tidurnya, kilauan hangat dari furnitur mahoni yang dipoles, dan aroma samar lavender bercampur cedar di udara.
Indo: (serak) "Ini... ini kamarku. Dari sembilan tahun yang lalu."
Seprai sutra melorot dari bahunya saat ia mengayunkan kakinya ke sisi tempat tidur. Kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin, menguatkan dirinya dalam kenyataan aneh yang ia temukan. Tertarik oleh suara kicau burung, Indo terhuyung ke jendela, denyut nadinya semakin cepat.
Ia menarik tirai dan disambut oleh pemandangan yang hampir membuatnya terengah. Di luar kaca terhampar taman istana, membentang dalam harmoni sempurna. Mawar bermekaran dalam warna-warna cerah, kelopaknya berkilauan oleh embun, sementara sinar matahari memantul di air terjun yang mengalir dari air mancur utama. Para pelayan bergerak dengan cekatan, tawa mereka terbawa angin saat mereka merawat pagar tanaman dan bunga-bunga.
Namun, bukan hanya taman. Dinding istana yang menjulang di kejauhan tetap utuh, tidak tersentuh oleh kehancuran yang seharusnya melanda mereka. Pemandangan itu bebas dari kekacauan, pengkhianatan, dan pertumpahan darah yang telah merenggut segalanya darinya.
Indo menekan tangan gemetar ke kaca, permukaannya yang dingin menguatkan dirinya sekali lagi.
Indo: (berbisik) "Ini... tidak mungkin nyata."
Gerakan samar di sudut matanya menarik perhatiannya ke cermin tinggi yang berdiri dekat tempat tidurnya. Ia berbalik perlahan, napasnya tertahan di tenggorokannya.
Apa yang ia lihat membuat dingin menjalar ke tulang punggungnya. Bayangan yang belum ia lihat selama bertahun-tahun menatap balik padanya. Rambutnya, campuran mencolok antara merah dan putih, acak-acakan karena tidur, dan matanya—lebar karena ketidakpercayaan—tidak lagi memiliki bayangan kesedihan yang dulu menggelapkannya. Bayangannya tampak hidup, tidak ternoda oleh rasa bersalah, kehilangan, dan penderitaan.
Indo melangkah ragu-ragu menuju cermin, tangannya terulur seolah ingin memastikan bahwa gambar itu bukanlah ilusi kejam. Tepat saat ujung jarinya melayang di atas kaca, pintu besar di belakangnya berderit terbuka.
PKI: (tertawa kecil) "Indo! Kau sudah bangun. Lama sekali kau tidur!"
Suara itu menusuk hatinya seperti anak panah.
Indo berbalik, dan di sanalah dia—PKI, persis seperti yang ia ingat. Rambut merah gelapnya seperti darah dan putih seperti susu menangkap sinar matahari, matanya yang keemasan berkilau nakal. Ia membawa nampan berisi kue-kue, senyum akrabnya memenuhi ruangan.
Indo: (mundur terguncang, suara gemetar) "Kak PKI...?"
PKI mengerutkan dahi, mendinginkan kepalanya.
PKI: "Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa aku tumbuh tanduk semalam?"
YOU ARE READING
Time keeps running (not sure to continue it or not)_
FanfictionIndonesian version Indonesia telah tiada... . . . Seorang penerus tahta, PKI, merenung di kamarnya pada malam yang dingin, di hari ulang tahunnya yang juga merupakan hari penobatannya sebagai penerus tahta ayahnya. Namun, di tengah kebahagiaan terse...
back to the past
Start from the beginning
