chapter 1

46 7 0
                                        

Malam sangat larut, dan angin November mulai menusuk kulit. Seorang remaja lelaki berusia tiga belas tahun berjalan tanpa arah, jaket tipisnya tak mampu menghalau dingin yang memeluk tubuh kecilnya. Nafasnya terlihat seperti asap putih di udara, terengah-engah, mengikuti langkah kakinya yang nyaris tak bertenaga. Langkah itu samar, namun terus berjalan, meski tanpa tujuan.

"Hey! Mind your way!"

Tubuhnya yang lemah hampir saja terjatuh ketika seseorang berlari terburu-buru dari arah berlawanan, menyenggol bahunya dengan kasar. Remaja itu hanya berhenti sejenak, memandangi trotoar basah di bawah kakinya. Tanpa kata, ia kembali melangkah, seakan tak ada lagi yang berarti. Toh, tak ada yang akan menolongnya jika ia jatuh.

Setiap hembusan nafasnya terasa berat, seperti menanggung ribuan beban yang tak terlihat. Angin dingin makin kencang, memaksa dirinya untuk merapatkan jaket lusuh yang dulu ibunya belikan di pasar loak. Tapi apa gunanya? Dingin dari dalam dirinya jauh lebih menusuk dibanding angin musim dingin malam itu.

Lalu apa tujuan dirinya hidup? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, terus-menerus seperti jarum jam tua yang berdetak kencang. Apa tujuan ia bertahan sejauh ini? Segala yang ia miliki hilang satu per satu, seperti pasir yang jatuh dari sela jari. Sejak kecil, keluarganya sudah hancur. Ayahnya pergi tanpa pesan, meninggalkan dirinya dan sang ibu untuk berjuang sendiri. Ia tahu betul bagaimana sang ibu membanting tulang demi memastikan ada nasi di piringnya, meski hanya sekepal.

Namun, takdir seolah tak pernah berpihak padanya. Satu-satunya sosok yang ia miliki itu juga direnggut darinya-kecelakaan tragis yang menghancurkan segala sisa hidupnya. Sejak hari itu, Julian hanya punya satu orang lagi: neneknya. Perempuan tua yang meski miskin, tetap menyayanginya tanpa syarat. Tapi hidup memang kejam, dan Julian tahu itu lebih dari siapapun. Hanya berselang dua bulan setelah ibunya pergi, neneknya pun menyusul. Penyakit yang lama diderita, biaya berobat yang tak ada, dan akhirnya ia pergi dengan tenang di atas dipan kecil mereka.

Julian merasakan perih di dadanya hanya dengan mengingat momen itu. Rumah kecilnya, yang penuh kenangan bersama neneknya, kini tak lagi miliknya. Utang yang menumpuk memaksa bank untuk menyitanya. Sejak itu, Julian hanyalah seonggok tubuh tanpa tempat pulang.

Langkahnya berhenti di depan taman kecil, bangku kayu tua di bawah pohon besar yang daun-daunnya sudah meranggas. Ia duduk di sana, memeluk lututnya, menatap langit yang kelam. "Kalau memang nggak ada yang mau peduli, kenapa aku masih di sini?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Angin berhembus semakin kencang, membawa guguran dedaunan terakhir yang tersisa. Julian menunduk, matanya berkaca-kaca, tapi ia menolak menangis. Ia sudah terlalu lelah untuk itu. Malam semakin larut, dingin semakin menggigit, dan tubuhnya mulai gemetar. Namun, entah dari mana, suara langkah kaki mendekat.

"Hey, kamu ngapain di sini?" suara lelaki paruh baya membuyarkan lamunannya. Ia mengenakan seragam petugas keamanan, sorot matanya tajam namun penuh rasa iba.

Julian tidak menjawab, hanya menatap kosong ke tanah.

"Kamu nggak bisa di sini. Sudah tengah malam, pulanglah."

Pulang? Ke mana? Julian hanya diam. Tak ada rumah. Tak ada keluarga. Dunia seakan menutup pintu untuknya.

Petugas itu memandangnya lama, sebelum akhirnya menghela napas berat. "Ayo ikut, Nak. Kamu nggak bisa sendirian di sini."

Dan itulah akhirnya-hari di mana ia harus benar-benar meninggalkan segalanya.

Keesokan paginya, Julian dibawa oleh pihak dinas sosial. Ia hanya diam, tidak melawan, bahkan ketika mereka membawanya ke dalam mobil. Ia tidak peduli lagi. Jalanan kota yang dingin, suara klakson, dan hiruk-pikuk pagi hanya terasa seperti gumaman jauh di kepalanya. Langit masih abu-abu ketika ia tiba di sebuah bangunan tua bercat putih pucat. Di sana, anak-anak berlarian, tertawa dengan kebisingan yang terasa asing. Julian melangkah masuk, tak membawa apa-apa kecuali syal tua berwarna krem yang pernah dibelikan neneknya bertahun-tahun lalu. Itu satu-satunya kenangan yang tersisa, satu-satunya yang membuatnya merasa... masih ada.

Hari-hari di panti pun dimulai. Sepi. Kosong. Sama seperti dirinya.

Langit tampak abu-abu hari itu, seolah ikut berduka bersama Julian. Deru mobil dinas sosial yang membawanya menuju panti asuhan hanya terdengar samar di telinganya. Ia menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan jalan-jalan berkelok tanpa benar-benar melihat apa pun. Di pangkuannya, satu-satunya peninggalan neneknya-syal tua berwarna krem-tergenggam erat seakan akan hilang jika ia mengendurkan genggaman. Itu saja yang tersisa. Rumah kecil tempatnya tumbuh akan segera disita, dan kini ia hanya punya dirinya sendiri.

"Julian," panggil seseorang, tapi ia tidak menjawab. Suara itu berasal dari seorang ibu pengurus panti yang menjemputnya di depan pintu mobil. Julian melangkah masuk ke bangunan tua bercat putih pucat. Anak-anak berlarian, bermain riuh di halaman, tapi semua itu seperti berada di dunia lain-bukan miliknya.

Hari-hari di panti berlalu tanpa warna. Julian adalah bayang-bayang di sudut ruangan. Ia sering duduk di pojok kamar, punggungnya menempel dingin ke dinding, memandangi celah jendela yang sempit. Makan? Sekadarnya. Bicara? Hampir tidak pernah. Para pengurus panti sudah terbiasa memperhatikannya dari jauh, memastikan ia tidak melakukan hal-hal yang bisa melukai dirinya sendiri.

Kemudian, suatu hari, seorang wanita datang-donatur, kata mereka. Beliau kerap datang membawa bingkisan dan senyuman hangat. Namun, yang menarik perhatian anak-anak bukan hanya kehadiran wanita itu, melainkan seorang anak laki-laki seusia Julian yang berdiri canggung di belakang ibunya.

Elio.

Julian pertama kali melihatnya dari jauh-bocah pendiam itu berdiri di tengah keramaian, kedua tangannya menggenggam erat tali ranselnya. Wajahnya tampak malas berada di sana, seolah ia lebih memilih berada di kamar rumahnya yang sunyi. Namun, pandangan Elio justru jatuh pada satu titik-pojok halaman di mana Julian duduk sendirian di bawah pohon rindang, menatap tanah seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana.

"Pergilah bermain dengan yang lain, Elio," bisik ibunya lembut, menepuk punggungnya.

Elio hanya mengangguk kecil, lalu melangkah mendekati kerumunan anak-anak. Tapi kakinya terhenti. Ada yang menariknya untuk berbalik. Mungkin itu rasa penasaran. Mungkin itu karena ia melihat dirinya sendiri dalam sosok Julian-sama-sama diam, sama-sama tenggelam dalam dunia yang berbeda dari orang lain.

Langkah pertama Elio mendekati Julian nyaris tanpa suara. Ia berdiri beberapa meter jauhnya, bingung harus berbuat apa. "Hei," ucapnya pelan.

Tidak ada jawaban. Julian hanya sedikit melirik, sebelum kembali menunduk.

"Namaku Elio." Kali ini Elio mencoba lebih berani, suaranya terdengar janggal di antara suara angin.

"Pergi." Itu satu-satunya kata yang keluar dari bibir Julian, datar dan tajam. Elio seharusnya pergi-anak lain mungkin akan pergi-tapi tidak dengan Elio. Alih-alih menjauh, ia justru duduk beberapa langkah dari Julian, membuka ranselnya, dan mengeluarkan sebuah buku komik lusuh.

"Aku nggak mau main sama mereka," gumam Elio sendiri, tapi cukup keras untuk didengar Julian. "Aku nggak punya banyak teman, jadi... nggak apa-apa, kan, kalau aku duduk di sini?"

Julian tidak menjawab. Dalam hati, ia berharap Elio akan pergi. Tapi bocah itu tetap di sana, membolak-balik halaman komiknya dengan tenang seakan tak peduli akan ketidaknyamanan yang diciptakannya. Sunyi menggantung di antara mereka, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari kesunyian itu. Entah bagaimana, kehadiran Elio tidak membuat Julian merasa sesak seperti biasanya.

Hari-hari berikutnya, Elio kembali-selalu bersama ibunya. Kadang-kadang ia membawa dua potong roti atau sekadar duduk di dekat Julian, meski tidak ada percakapan. Julian masih dingin, tapi Elio tidak peduli. Hari itu, ketika Elio tanpa sengaja menjatuhkan komiknya dan angin membawanya ke kaki Julian, Julian mendesah pelan dan mengambil buku itu.

"Ini." Julian mengulurkan buku itu, sekilas menatap Elio.

Elio tersenyum kecil, "Makasih."

Dan itulah awal dari semuanya-sebuah interaksi kecil yang perlahan mulai membuka pintu yang selama ini terkunci di hati Julian.

—when hope finds you—

When Hope Finds You | YeongyuWhere stories live. Discover now