Dengan gerakan pelan Daffi memindahkan tubuh Navya ke dalam gendongannya dan segera membawanya ke kamar. Daffi sedikit terkejut ketika merasakan bahwa tubuh dalam gendongannya ini ternyata sangat ringan. "Kamu makan apa aja sih sampai seringan kapas begini? Perasaan di rumah ini saya nyuruh pelayan nyediain makanan bergizi. Tapi kenapa badan kamu kayak kurang gizi begini? Ringan banget kayak anak-anak," gumam Daffi sambil menatap Navya yang masih anteng di gendongannya.

Sesampainya di kamar Daffi menurunkan Navya di ranjang mereka. Tak lupa ia naikkan selimut hingga dada. Daffi menghela pelan sebelum ikut naik dan berbaring di sebelah Navya setelah mematikan lampu utama.

Pria itu memiringkan badan menghadap istrinya. "Kenapa ya waktu itu otak dan hati saya tiba-tiba milih kamu jadi istri saya? Padahal kamu bukan tipe saya sama sekali. Padahal kalo saya bisa berpikir jernih dan bisa tenang sedikit aja, kita gak akan nikah. Saya punya Alexa yang bisa dan mau bantu saya." Daffi menghela napasnya kasar.

Berandai-andai seperti sekarang memang tidak ada gunanya lagi. Nasi sudah jadi bubur. Mereka sudah menjadi sepasang suami istri, ditambah Daffi telah berjanji tidak akan menceraikan Navya pada Sahara.

"Saya penasaran sama rambut yang sembunyi di balik kerudung itu," celetuk Daffi asal. Ia menatap kerudung Navya dan tangannya gatal sekali ingin membuka penutup kepala itu, tapi urung. "Saya suami kamu kan, harusnya saya boleh lihat rambut kamu itu." Pria itu menggerutu tanpa sadar.

Lenguhan pelan Navya dan gerakan di kedua matanya yang seperti akan terbuka membuat Daffi terkesiap hingga membuatnya buru-buru mengubah posisi menjadi terlentang dan menutup mata seolah ia tengah tertidur.

Daffi merasa pagi ini ia sangat konyol. Takut ketahuan sedang menatap Navya.

"Kok aku di sini? Perasaan tadi tidur di kamar tamu." Lirihan pelan Navya yang dapat Daffi dengar membuatnya mendengus dalam hati.

 'Iyalah di sini, kan saya yang mindahin kamu.'

Sekarang Daffi yakin Navya menoleh ke arahnya dan terkejut dengan keberadaannya di samping perempuan itu. Lalu tak lama berselang Daffi merasakan pergerakan di sampingnya dan setelah itu bunyi langkah kaki menjauh. Daffi membuka sedikit matanya dan tidak mendapati Navya di samping. Bunyi gemericik air di dalam kamar mandi membuat Daffi tahu istrinya tengah berada di dalam saat ini.

Pintu kamar mandi terbuka. Daffi kembali menutup mata dan menajamkan telinganya untuk mendengar apa yang akan perempuan itu lakukan. Niatnya beristirahat tadi seketika sirna oleh Navya. Daffi merutuk. Kenapa perempuan itu dengan mudah membuat fokusnya teralih?

Daffi tidak tahu apa yang Navya lakukan setelah keluar dari kamar mandi. Ia tidak mendengar suara apapun sama sekali. "Mau ke nama kamu?" Pertanyaan itu spontan Daffi keluarkan ketika ia mendengar suara pintu kamar terbuka beberapa menit setelah hening. Ia membuk mata dan menatap Navya yang memegang gagang pintu terkejut ke arahnya. "Ini masih pagi. Mau ke mana kamu sepagi ini?"

"Saya mau keluar sebentar, Tuan," jawab Navya ragu.

"Ke mana?" ulang Daffi.

"Ke kamar tamu," cicit perempuan itu pelan. "Tongkat saya ketinggalan di sana," lanjutnya.

Ah, Daffi baru ingat kalau ia melupakan tongkat yang dipakai Navya untuk berjalan. "Suruh Ajeng yang ambil. Kamu kembali ke sini," titahnya tegas.

Dari raut wajahnya Daffi tahu jika Navya keberatan dengan perintahnya. "Tapi--"

"Saya baru pulang Navya, saya mau istirahat. Dan saya mau kamu temenin saya di sini!"

"Tuan--"

"Sekarang!"

I'm With You || EndWhere stories live. Discover now