#10 Jerk

1.5K 102 1
                                    

Justin membaringkan Elsie ke atas ranjang Jazmyn, lalu membentangkan selimut tebal berwarna krem hingga batas dagu gadis tersebut. Terdengar deru napas Elsie yang lamban dan berirama. Tubuhnya bergerak-gerak sedikit, seakan mencoba mengadaptasikan diri dengan keadaan baru di sekelilingnya, meskipun dia tetap memejamkan mata terlelap.

Mengamati wajah gadis itu baik-baik, kening Justin mengernyit heran. Batinnya berperang dengan dirinya sendiri. Berbagai pertanyaan dasar terlontar dan memantul-mantul di dinding tengkorak kepalanya. Tak berselang lama, Jazmyn muncul membawa beberapa potong bajunya sambil melemparkan lirikan tajam untuk Justin yang masih terpaku.

"Ternyata kau masih menyimpan darah kebaikan," sindir Jazmyn mendekati ranjangnya untuk mengganti pakaian Elsie. Sudut mata Jazmyn menyorot Justin lekat. "Bukankah ini gadis yang kau selamatkan waktu itu, hm? Kalau tidak salah, kau dan Joseph merencanakan pembunuhan untuk saudari kembarnya."

Rahang Justin mengeras mendengar kalimat Jazmyn yang terdengar mendikte. Dia melengos. Tidak ingin membalas tatapan menuntut kakaknya.

"Jangan bicarakan itu di sini," desisnya tak suka.

Kalimat itu mendapatkan balasan dari Jazmyn berupa tawa pendek. Lebih tepatnya, tawa mencela.

"Well, aku yakini permainan ini tidak akan berjalan sesuai harapan Jo. Yakinlah padaku." Sudut bibir Jazmyn melengkung ke atas, membentuk senyuman manis madu dan penuh arti. Justin mendesis lagi. "Tidak keberatan pergi dari sini? Aku akan mengganti pakaiannya."

Tanpa membalas dengan kalimat, Justin mengangkat kakinya menjauhi kamar Jazmyn. Langkahnya berderap pelan seolah-olah disengaja agar dia bisa berlama-lama di tempat itu. Untuk apa lagi kalau tidak memastikan Elsie baik-baik saja.

"Dan... Justin," Jazmyn memanggil lagi, sambil menyibakkan selimut Elsie tanpa menoleh ke belakang.

Sama halnya pula dengan Justin yang berhenti melangkahkan kakinya lantaran mendengar panggilan kakaknya lagi. Dia hanya berdiri memaku tidak menoleh maupun membalikkan badan, menunggu Jazmyn melanjutkan.

"Cinta itu datangnya tidak terduga. Kau harus bisa menyadari keberadaannya."

Dua kalimat yang keluar dari mulut Jazmyn menghantam dada Justin seketika. Matanya yang nyalang merespon perkataan Jazmyn yang diucapkan dengan nada lembut, menekan, dan bersimponi indah. Kata-kata tersebut berhamburan melayang-layang di pikiran Justin. Seperti hendak mencemooh lelaki itu dengan suara merdu dan perasaan anehnya. Mendadak saja dia tersenyum miring mencemooh, tampak tidak sependapat dan menentang suara-suara yang merongrong di dalam benaknya. Tanpa membalasnya, Justin melanjutkan langkahnya apatis.

***

Elsie's Point of View

Bunyi burung-burung yang bercicitan ria disertai sorotan sinar matahari menampar wajahku sontak membuat mataku terbuka. Aku mengernyit sebentar mengadaptasikan penglihatan dan mencoba mengingat apa yang terjadi malam kemarin. Setelah sepersekian detik berpikir, mendadak mataku membelalak lebar, menyadari bahwa saat ini aku berada di tempat asing yang tentu saja tak kukenal. Kuangkat kepalaku yang terasa pening, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi dan siapa yang membawaku kemari. Kupandangi tubuhku dan melihat baju tidur berbahan satin lembut tertempel di sana. Masih setengah sadar dan gagal mendapatkan ingatanku—sepertinya efek absinthe yang kuminum waktu itu—terdengar suara ketukan dari pintu. Lantas, diikuti suara lembut seorang gadis yang asing di indera pendengaranku.

"Kau sudah bangun?" tanya suara lembut itu dari luar.

Aku tidak membalas, malah menggigit bawah bibirku meyakinkan bahwa saat ini aku sudah bangun dan ini bukanlah mimpi. Tancapan gigi seriku terasa nyeri pada bibir bawahku, yang artinya aku tidak sedang bermimpi dan memang ada yang membawaku kemari malam lalu.

Perfect Revenge (by Loveyta Chen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang