33. Kembali Pulang

637 87 25
                                    

Masih ingat, ‘kan kalau Karin tidak bisa makan ayam? Pagi ini sesuai dengan menu yang dipesan oleh Shasha dan Yusuf, mereka semua makan dengan kuah soto dan beberapa irisan ayam. Sebelumnya Shasha sempat meminta maaf kepada Karin. Sungguh ia benar-benar lupa.

Ini semua karena MASALAH BUMBU DAPUR!

Dan yang patut Shasha dan Yusuf syukuri adalah omelan Yesmin tak seluas samudera Hindia seperti apa yang Shasha khawatirkan.

Oh ya udah, gapapa. Soalnya kebetulan Karin mau dititipin bumbu dapur. Budhenya Karin jualan itu. Lumayan kan bisa dapet harga miring plus dikasih bonus. Gue malah seneng kalau lo nggak jadi beli,” ucap Yesmin santai sesaat setelah Shasha kembali ke posko.

Karin harus makan, kalau tidak ia takut asam lambungnya akan naik dan itu akan sangat merepotkan dirinya. Jadi jalan satu-satunya hanya bisa makan dengan kuahnya saja.

Ini nggak begitu buruk jika dibandingkan hanya makan dengan garam.

Renan mendatanginya dengan tas ransel yang sudah siap berada di punggung. “Yuk. Kita berangkat sekarang aja.”

Hampir saja sesuap nasi itu masuk ke dalam mulut Karin, “Tapi gue masih makan.”

“Udah, sekarang aja. Nanti keburu mataharinya tinggi.”

“Ren…”

Guys, gue berangkat ya sama Karin. Jen, lo yang jaga posko selama gue nggak ada. Tal, gantiin tugasnya Karin buat sementara.”

Perintah Renan hanya diangguki oleh kedua temannya itu yang masih asyik dengan sarapan di hadapannya. Kalau sudah diberikan makanan mereka sudah seperti kucing yang nurut dengan majikan.

Karin tak banyak bicara. Perutnya sudah keroncongan, akan sangat bahaya jika tidak segera diisi. Mau bilang pun sepertinya Renan enggan untuk menuruti ucapannya. Semoga saja perutnya bisa untuk diajak berkompromi.

Selama perjalanan, Karin lebih banyak diam. Sesekali Renan mengajaknya berbicara tapi hanya disahuti seadanya. Hingga sampailah mereka di depan sebuah kedai pinggir jalan. Pikir Karin, mungkin Renan mau membelikan makanan untuk keluarga. Namun ternyata ia salah. Renan justru menyuruhnya duduk dan memesankannya makanan.

Karin bingung, padahal ia tak minta diampirkan di warung makan.

“Lo nggak bisa makan ayam. Makanya gue buru-buru ngajak lo jalan biar bisa mampir dulu buat beli makan,” ucap Renan setelah duduk di hadapannya dari memesan dua porsi gule kambing.

Mencium aromanya saja sudah membuat Karin ngiler. Sungguh, demi apapun. Perutnya sudah meronta-ronta minta diisi.

“Tapi tadi, ‘kan gue nggak minta…”

“Lo mau asam lambung lo naik?”

Ternyata Renan masih mengingatnya. Dulu sewaktu mereka masih sama-sama meskipun hanya singkat. Renan pernah membawakan Karin obat lambung sekalian makanan untuk perempuan itu konsumsi. Rasa bersalahnya memuncak, karena demi menemaninya bermain futsal, Karin sampai melewatkan jam makan siangnya.

“Gue gapapa kok.”

“Yakin?”

“Iya.”

Okeh.”

Setelah itu Renan berdiri, bersiap membatalkankan pesanannya. Namun tangannya sudah dipegang lebih dulu oleh Karin. Mendapati itu membuat Renan menyunggingkan senyum tipis. Gulai kambing, ‘kan makanan kesukaan Karin. Jadi mana mungkin perempuan itu menolak.

“Apa?”

“Ya udah gapapa. Aku makan.”

“Nah gitu dong.”

Dear, KKNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang