Between Us 13

169 64 7
                                    

"Kania?" sapanya menghampiri.

"Mas Damar di sini?" Aku  bangkit menyambut jabat tangannya. 

Pria berkaus polo shirt putih itu mengangguk. Sungguh pemandangan tak biasa, karena aku selalu melihatnya mengenakan kemeja. Dia terlihat sangat santai. 

"Iya, ada teman ulang tahun, jadi kita mau nonton rame-rame," jawabnya sembari menyugar rambut.

Mata Damar beralih ke Andika.

"Oh dia Andika, Mas. Kenalin, Dika dia Mas Damar, dia kli ...." Hampir saja aku keceplosan kalau Damar adalah klien kantorku. 

Dia pria di depanku itu saling berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. Mencegah berbagai pertanyaan yang akan diajukan oleh Andika pada Damar, segera aku berkata, "Andika, aku sepertinya harus pulang karena sudah malam. Makasih traktirannya."

Damar menoleh padaku.

"Pulang?"

"Iya. Dika aku ...."

"Oke, aku juga mau balik. Besok pagi ada kerjaan penting," ujar Andika. 

Tentu saja aku lega, karena semua yang ku khawatirkan tak terjadi. Damar lalu kembali ke teman-temannya, sementara Andika keluar bersama kami menuju parkiran.

"Kalian naik apa? Aku antar?" 

"Nggak, eum, Alya, Alya tadi bawa mobil," tolakku asal.

"Oke, Kania, boleh aku minta sesuatu?"

"Apa?"

"Aku berharap kita bisa ketemu lagi, dan kamu tidak menolakku."

Sejenak aku diam. Biar bagaimanapun pria yang mengingatkan aku pada aktor di drama Korea itu pernah jadi seseorang yang kucintai. Meski dalam perjalanannya tidak semulus yang kuimpikan.

"Oke, kamu baik-baik, ya. Aku berharap kamu bahagia, Dika."

Tak ada sahutan dari Andika, dia hanya tersenyum lalu mengayun langkah meninggalkan kami.

"Kania! Ternyata Andika lebih ganteng dari fotonya yang pernah kamu tunjukkan waktu itu!" Alya mulai histeris. "Satu lagi, sejak kapan gue punya mobil, sejak kapan juga gue bisa nyetir mobil!" ungkapnya menyenggol lenganku.

"Tapi buat apa ganteng, kalau sakit jiwa!" timpal Yeni.

"Iya, sih, padahal sebenarnya lo bisa Kania ngajakin dia terapi biar jiwanya kembali sehat." Alya mulai beropini.

"Eh, nggak semudah itu juga kali, Al. Gue yakin kalau Kania sudah berusaha, tapi emang lo bisa bertahan hampir mati demi membuat sehat laki-laki seperti itu? Kalau menurut gue, Kania udah bener!" 

"Iya, sih, tapi ya ampun, Kania, dia ganteng juga loh. Nggak kalah sama Damar!" 

Kalimat Alya membuatku menoleh.

"Kenapa lo bawa-bawa Damar, Al?"

"Ya, yang ada di kepala gue, lo bakal jadian sama bapak muda nan keren itu!" sahutnya sambil mengerjapkan mata.

Obrolan ini aku berani bertaruh tidak akan selesai, dan selama itu pula kami akan bertahan di parkiran ini entah sampai kapan.

"Ikut gue!" Kuajak mereka menyelinap dan kembali masuk ke mal lewat pintu samping.

"Kania! Ini udah jam berapa? Lo mau masuk lagi?" Yeni menatapku heran.

Aku bukan orang yang baru kenal Andika. Aku juga bukan orang yang paham ilmu jiwa, tetapi aku belajar banyak soal itu semenjak bersama Andika. Aku tahu, seperti apa mantan suamiku itu. 

Between Us -- Lebih Cepat Ada Di KBM App Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt