"Berapa kali?" tanya Arisa dengan air mata kembali mengalir di pipinya.

"A-Apa maksudmu?" tanya Yunan balik.

"Berapa kali kalian berpelukan waktu itu?"

Bibir Yunan gemetar. Ia menundukkan kepala. "Dua kali," jawab Yunan lesu.

Arisa menutup matanya. Merasakan sakit di dada, seperti tertusuk benda tajam. Sakit sekali. Kenapa? Kurang apa dia sebagai istri? Kurang baik kah? Pelukan pertama, Arisa bisa menerima kalau itu adalah ketidaksengajaan, karena luapan emosi dan rasa takut karena teror yang dilakukan Sobri. Tapi pelukan kedua??

Yunan merangkul erat istrinya. "M-Maafin aku, sayang! Maafin aku! Waktu itu aku gak bisa berpikir jernih! Situasinya -- dan -- aku juga ketakutan. Takut kalau-kalau aku datang terlambat sedikit saja, maka Raesha mungkin sudah di -- aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, kalau Raesha sampai kenapa-kenapa!" jerit Yunan dengan suara tangis nyaris lepas. Ia menahannya, namun air matanya tetap lolos dan membasahi jilbab istrinya.

Arisa diam meski rasanya ia ingin menangis hingga air bah keluar dari matanya. Napasnya kembang kempis. Ingin berteriak tapi energinya serasa habis terkuras. Dia tahu apa masalah terbesarnya. Dia terlalu mencintai Yunan Lham. Itu adalah sebuah kesalahan. Semestinya dia tidak menggantungkan harapan kepada makhluk. Termasuk kepada Yunan Lham.

"Afwan, afwan, sayang. Aku khilaf waktu itu. Tolong jangan salahkan Raesha. Dia wanita baik-baik. Itu murni kekhilafanku. Insya Allah gak akan terjadi lagi, sayang," rayu Yunan sambil mengusap lembut punggung Arisa.

Arisa mundur, mengambil jarak dari suaminya. Mata mereka sama-sama merah dan basah.

"A-Apa kalian ... berciuman juga?" tanya Arisa sebelum kembali menangis.

Yunan lagi-lagi memeluk istrinya. "Enggak, sayang! Demi Allah kami tidak melakukan itu! Demi Allah!" jawab Yunan yang tangisnya pecah juga. Dia sudah tak perduli kalau-kalau ada orang yang mendengar suara pertengkaran mereka malam ini.

Arisa perlahan melepas rangkulan suaminya dan menutup cadar. Bersiap keluar kamar.

"K-Kamu mau ke mana??" tanya Yunan cemas.

"Aku perlu waktu sendirian. Kamu tidur saja duluan," jawab Arisa dengan suara parau khas orang habis menangis.

"Mau ke mana tapi? Kamu bakal balik, 'kan?" desak Yunan, seperti anak kecil yang takut akan ditinggal pergi.

Di balik cadarnya, air mata Arisa menetes lagi. Teringat Yunan kecil yang dulu jadi teman dekatnya. Yunan kecil yang ditinggal wafat kedua orang tuanya bersamaan di usia delapan tahun. Arisa merindukan saat-saat itu.

Tangan Arisa menyentuh pipi Yunan lembut, mengusap air mata suaminya. Yunan menggenggam tangan itu dan mencium telapaknya.

"Aku cuma ke dapur, mau buat teh hangat, sama duduk-duduk sebentar di taman. Kamu tidur aja duluan," kata Arisa tanpa terdengar sisa emosi dalam kalimatnya.

Yunan mengangguk, merasa lebih tenang mendengar jawaban istrinya.

"Jangan lama-lama," pinta Yunan terdengar merajuk.

Arisa membuka kembali cadarnya dan memaksakan dirinya tersenyum manis.

"Iya," jawab Arisa mengangguk.

Yunan menghampirinya hingga seluruh wajah Arisa tertutup bayangan. Ciuman manis mendarat di bibir mungil Arisa. Seandainya bukan karena mereka baru saja bertengkar karena pelukan itu. Seandainya -- maka mungkin ciuman ini akan berlanjut ke ranjang. Tapi saat ini, mereka tidak sanggup melakukan itu, berpura-pura intim dalam kondisi hati remuk.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now