Ratih kembali memeluk sang kakak dengan erat. "Mbak, aku tuh nggak marah. Toh, Mbak Laras juga udah segini sengsaranya ngerasain akibat dari semuanya itu. Tapi aku minta, kalo ada apa- apa, Mbak cerita ke aku ya. Aku ini juga adik, sahabat, dan partner in crime nya Mbak Laras sejak dulu, kan?"

***

Kali ini, Dhea mengajak Laras untuk memenuhi undangan ibu dari sahabat semasa SMA perempuan itu.

Kusuma Katering, milik Bu Intan Wijayakusuma, ibu dari Rania. Selain  menyediakan katering untuk acara- acara hajatan, acara kantor, dan masih banyak lagi, Bu Intan menyulap garasi di depan rumahnya sebagai tempat makan yang biasa didatangi para karyawan kantor di sekitar area tersebut.

Sekitar 70 menu masakan tersedia setiap harinya, memenuhi etalase panjang. Area makannya juga cukup luas dan ramai.

Tapi, rupanya Dhea dapat privilege untuk bisa makan di teras belakang rumah model lawas yang terletak di Pejaten itu. "Ke sini karena Bunda tadi bilangnya masak sambal ati ampela sama pete." Cetus Dhea.

Seorang asisten rumah tangga Bu Intan mengantarkan pesanan mereka. Dhea meminta sepiring penuh sambal goreng ati ampela, urap, dan sayur lodeh. Sementara Laras yang tidak begitu nafsu makan, memilih makan soto ayam.

"Lama nggak ke sini, Mbak Dhea? Rania teh sekarang masih di Surabaya."

"Oh, udah spesialis ya, Bunda?"

"Heeh, atuh. Katanya kurang setahun lagi. Ngambil spesialis anak. Kamu masih di tempat yang lama? Di keuangan bukan? Enak ya, bisa langsung kerja. Rania mah dulu ngotot minta jadi dokter. Untung ini Bunda punya banyak temen. Ramdhan juga biasanya ke sini seminggu sekali bareng istri dan anaknya. Kamu tuh main- main ke sini kalo ada waktu. Temenin Bunda. Semenjak nggak ada Ayah, Bunda kesepian. Bercandanya sama mbak- mbak itu."

Dhea meringis saja. Memang sejak dulu, begini tabiat Bundanya Rania. Orangnya humble, baik hati. Kalau mau perbaikan gizi, mereka, teman - teman Rania pasti larinya ke sini.

Ayah Rania adalah Jenderal Abdi Wijayakusuma sudah berpulang tujuh tahun yang lalu. Cardiac infarction. Tidak bisa diselamatkan lagi. Saat itu, Rania baru saja lulus jadi sarjana kedokteran.

"Ayo dimakan," ujar Bunda Intan. Kemudian mata Bunda beralih pada sosok Laras yang sejak tadi berusaha untuk jadi invisible karena tidak mau ditanya-tanya. Sebenarnya dia suka dengan pembawaan Bunda Intan yang supel. Laras melempar senyuman ramah.

"Itu sudah berapa bulan, kandungannya, Neng?" Kayaknya udah besar ya.

"Iya, Bu."

"Ikut senam hamil? Biasanya kan sekarang ini trendnya ikut senam hamil tuh. Biar lahirannya gampang katanya. Dulu menantu saya juga begitu. Jadi lahirannya juga lancar."

"Iya, Bu."

Si Bunda mengangguk- angguk puas.

****

"Gue anterin lo periksa deh, Ras." Mendadak  Dhea menawarkan bantuannya. " Suami lo di Bandung? Apa di sini?" tanya Dhea.

Kelihatannya saja dia kalem. Aslinya, Dhea sudah gemas. Dia seolah seperti bisa mencium kebohongan Laras. Dia tahu kalau suami Laras itu tidak sedang berada di Bandung. Melainkan di Jakarta. Dan Sutalah orangnya.

Tapi buat apa juga Dhea ikut campur. Toh, semuanya itu tidak ada urusannya dengan masa depan perempuan itu sendiri. Hanya saja, dia semakin gedek dengan kampanye hitam yang selalu digalakkan Cynthia pada orang sekantor  belakangan ini.

Gadis itu seolah membenci Laras sampai ke ubun-ubun. Tanpa sebab. Tanpa alasan. Pokoknya kalau melihat Laras, Cynthia seperti ingin menghujat. Tapi terkadang, beberapa kali Cynthia diam- diam mengamati sosok Laras.

Kalau ini menyangkut Suta, jelas tidak mungkin. Cynthia itu penggemar berat Kennan. Teman si bos yang agak sableng itu. Toh sama Felisha dia juga sama tidak sukanya.

"Nggak usah, Mbak. Biar saya sendiri aja. "

"Duh, sekalian deh, Ras. Nanti- nanti lo juga pasti periksa kan?" desak Dhea. "Ayo dong. Gue males balik ke kantor. Males lihat muka si Nowo."

Laras mengekeh. "Mas Hernowo kan emang naksir Mbak Dhea."

"Amit- amit deh! Naudzubillah urusan sama itu orang! Lo lihat dong, dia pake sekilo pomade apa gimana? Rambutnya nggak ada beda sama wajan Kang nasi goreng!" komentar yang hanya disambuti tawa garing oleh Laras.

"Makasih, Mbak Dhea. Tapi nggak usah. Ntar Mbak malah ketemu dokter yang waktu itu lagi." Laras mengingatkan. "Dokter Ethan, kalo nggak salah. Ya kan?"

Muka Dhea lantas memerah malu.

"Oke kalo itu yang elo mau. Gue sih nggak maksa!"

****

"Ini sudah masuk bulan ke lima ya, Bu Laras." Pria yang sore itu mengenakan kemeja biru pucat menunjukkan perkembangan janin lewat ultrasonography. Di monitor, tampak bulatan sebesar buah pisang. "Ini panjangnya sekitar 25 senti. Telinganya udah terbentuk sempurna. Kelihatannya merah ya, Bu. Karena ini pembuluh darahnya masih transparan." Dokter itu menutup penjelasannya.

Suster Evi membantu Laras untuk membenahi pakaian Laras. "Kok datang sendirian. Kapan hari ada suaminya." Dokter Rio duduk di kursi dan mulai mencatat.

Laras meringis. "Sibuk, Dok. " Laras kini duduk di kursi, di depan meja sang dokter. "Semuanya normal. Mau ikut senam hamil? Mulai minggu depan. Rabu sama Sabtu. Kita punya instruktur bernama Madeleine. Dia bagus. Satu sesi biasanya  ada dua puluh orang. Ini udah ada 17 orang. Kalo mau, saya bisa rekomendasikan kamu. Dia orangnya baik kok. "

"Istri dokter?"

Dokter mendelik dari balik kacamatanya.  "Kamu ini nakal ya, Bu Laras."

"Waduh, Bu Laras, kalo Dokter Rio sih belum pecah telor. Calon istrinya sudah holiday ke alam lain."

"Suster Evi! Mau kamu saya oper ke dokter Kunto!"

Si suster hanya terkekeh. Laras memandangi keduanya dengan heran. Tampaknya, hubungan mereka sudah demikian dekat. Buktinya, Suster Evi tidak sungkan bercanda mengenai masa lalu si Dokter ganteng ini.

***

Miss Dandelion Where stories live. Discover now