Two : Aku

6 2 0
                                    

Rara's POV

Namaku Rara Ayu Iswahjudi. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Umurku 27 tahun. Adikku yang kedua laki-laki berumur 22 tahun, adikku yang ketiga juga laki-laki,  jika masih hidup saat ini berusia 18 tahun. Dia meninggal karena tenggelam saat bermain di kolam renang bersamaku dan adikku yang kedua saat aku masih  SMP dulu.
Saat ini aku bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang produsen semen yang terkenal. Puluhan pabriknya tersebar dibeberapa daerah di Indonesia. Ada juga kantor cabang di beberapa kota di Indonesia. Dan cabang tempatku bekerja sekarang adalah di Surabaya . Aku menjabat sebagai Branch Administrator. Aku menjadi kandidat kuat menjadi kepala cabang karena kepala cabangku yang lama akan mengajukan pensiun dini karena ingin fokus ke proses recovery. Beliau memang menderita penyakit kanker stadium awal. Jadi sebelum semakin parah, beliau ingin fokus pada penyembuhan dan mengajukan pensiun dini.

Aku sudah bekerja di perusahaan ini selama 5 tahun. Sejak awal bekerja, kepala cabangku mendidik, mengajariku banyak hal. Terkadang ia memberikanku wewenang jika ada masalah yang terjadi di cabang untuk mempersiapkan aku menjadi penggantinya kelak. Setiap hari pekerjaanku seolah tidak ada habisnya karena aku bukan hanya menghandle pekerjaanku sendiri. Tak jarang aku menggantikan pekerjaan rekanku yang izin, sakit, atau ada kepentingan lain. Kenapa aku yang menggantikan? Karena kepala cabangku tahu aku bisa melakukannya. Sejak aku datang disini, aku suka belajar hal baru. Hal ini yang membuat kepala cabangku mengajariku banyak hal. Beliau memberikanku ilmu agar bisa bertahan disini.

Aku perempuan yang cantik menurut banyak orang. Rambutku hitam, lebat dan panjang sepinggang. Kulitku putih bersih. Hidungku mancung dan warna bola mataku berwarna coklat yang agak sedikit terang. Kecantikanku ini berasal dari mamaku yang keturunan Korea Selatan. Beliau memutuskan pindah ke Indonesia ketika menikah dengan papa. Mama sudah tidak mempunyai keluarga lagi disana, karena itulah beliau pindah kesini sejak dahulu.
Tak jarang kecantikanku ini membuat banyak dari rekan kerjaku bahkan relasi yang terkadang bertemu saat aku diajak kepala cabangku untuk meeting menggodaku secara terang-terangan. Bahkan status mereka yang sudah berkeluarga pun seolah tidak mereka pedulikan hingga membuatku risih dan muak.

Ponselku terasa bergetar dikantongku membuatku melihat siapa yang menelepon.
Bang Herry Kantor Pusat
Aku mengangkat teleponnya. Belum juga kujawab sapaan halonya, Bang Herry sudah berbicara dengan cukup cepat. Bang Herry ingin aku datang ke meeting tahunan sekaligus family gathering besok menggantikan kepala cabangku yang kondisinya tidak memungkinkan.
"Bang, gue lagi ga di Surabaya sekarang. Cuti gue, gantiin lebaran kemaren gue gak mudik, jadi baru mudiknya setelah lebaran. Lusa baru balik". Jawabku.
Bang Herry menghela nafas.
"Terus gimana ini?". Gumam Bang Herry.
Aku berpikir cepat.
"Besok jam berapa emang?". Tanyaku.
"Jam 10. Lu mudik kemana sih emang?". Tanya Bang Herry lagi.
"Banten bang". Jawabku singkat.
"Bagus dong. Deket. Gue jemput lu sekarang ya bawa mobil, lu sharelock aja". Ucap Bang Herry.
"Yakin bang? Disini gak sedekat yang lu kira tau! Pelosok disini tuh!". Ucapku.
"Yang penting lu besok bisa hadir. Lu tau kan ini rapat penting?".
Aku menghela nafas.
"Oke. Gue kirim alamatnya sekarang ya. Saran gue lu ajak temen yang bisa nyetir juga satu buat gantiin lu kalau pegel. Oh ya nanti kalau otw live location ya bang!". Saranku.
"Oke. Gue berangkat sekarang. Jangan lupa kirim alamatnya ya. Sampe ketemu nanti!". Ucap Bang Herry lalu mengakhiri panggilan.
Aku menghela nafas sekali lagi sambil mengirim lokasiku sekarang. Aku tetap menulis alamat lengkap ku kepada Bang Herry.
Untung saja saat mudik aku memakai sepatu bukan sandal. Jadi besok bisa aku pakai saat acara.
Aku beranjak dan masuk kedalam kamarku. Membuka lebar koperku mulai memasukkan pakaian yang aku bawa. Aku juga memasukkan skincare ku yang gak seberapa kedalam tas kecil. Aku mengambil pouch untuk baju kotor yang akan aku gunakan untuk wadah baju yang kupakai sekarang. Setelah semua beres, aku meletakkan pakaian yang akan aku gunakan dan bergegas mandi.

Selesai mandi, aku masuk lagi kedalam kamarku. Ternyata dikamar ada mamaku duduk di ranjang sedang menungguku.
"Mau balik sekarang? Memang ada kendaraan? Bukannya masih lusa?". Tanya mamaku.
Aku menutup pintu dan menutup gorden kamar. Setelah itu aku melepaskan handukku. Aku sudah menggunakan pakaian dalam sebelum keluar dari kamar mandi tadi.
"Dijemput temen dari Jakarta ma. Besok ada meeting tahunan sama family gathering dan Rara harus dateng gantiin Pak David. Kondisi beliau gak memungkinkan untuk ikut". Jawabku sambil mengenakan celana.

Aku menggunakan deodorant dan menyemprotkan body spray beberapa kali ke tubuhku sebelum memakai baju. Setelah selesai aku melipat rapi pakaian yang kupakai tadi dan memasukkannya kedalam pouch yang sudah kusiapkan.
Setelah semua selesai, aku menutup koperku dan menyisihkan ya didekat lemari.
"Makan dulu sana!". Pinta mama lembut.
"Nanti saja ma. Rara belum lapar". Jawabku sambil memainkan ponsel melihat posisi Bang Herry.
"Maafin mama ya gak bisa berbuat apa-apa. Kalau saja perkebunan itu punya mama, sudah mama jual sejak Rara bilang waktu itu. Nanti kalau sudah reda, mama coba ngomong lagi sama papa ya?". Bujuk mama dengan nada lembutnya.
"Nggak usah gak apa-apa ma. Nanti biar Rara coba cari jalan keluarnya. Semoga ada!". Jawabku membesarkan hati mama.
"Mau cari gimana? Uang segitu gak sedikit, Ra! Gaji Rara tiap bulan aja udah habis untuk bayar hutang ke Bu Warsito dan kebutuhan disini sehari-hari. Gaji adek pun gak seberapa cuma cukup buat kehidupan dia sendiri disana!. Kalau Rara gak tinggal sama tante, entah gimana Rara makan!". Ujar mama sedih.
Aku berusaha keras menahan air mataku agar tidak keluar.
"Semoga ada jalan ma. Rara gak mau lagi jadi alasan papa semakin benci sama Rara gara-gara masalah ini". Aku mencoba tersenyum kearah mama.
"Kematian adek dulu masih menjadikan aku tersangka utama di mata papa ma, walaupun bukan aku yang salah. Tapi di pikiran papa, aku yang bersalah". Batin Rara sedih.


Mama memelukku dan menepuk bahuku pelan. Aku beranjak keluar dari kamar menuju teras depan. Tempat yang terdapat banyak sinyal agar aku bisa dengan mudah melihat lokasi Bang Herry.
Aku menghela nafas berat.

HOLLLAAAA.....
COMEBACK DENGAN CERITA BARU NIHHH....
DIBACA YAAA... SEMOGA SUKA....
AS ALWAYS TOEL TANDA BINTANG DIBAWAH NIHHH HIHIHI ^^

BaktiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ