[5] Merajut Kematian

299 74 8
                                    

Kim Dokja membanting kening penyusup itu ke lantai hingga menimbulkan suara debum nyaring yang membuat dahi lawannya berdarah sebelum kembali mengulang pertanyaannya dengan tenang, "Lidahmu tampaknya tidak berguna, perlukah kucabut saja?"

Meski dia menyatakan demikian, tangan lelaki itu tidak bergerak memenuhi perkataannya sendiri melainkan terulur ke rongga mata dan mencabut salah satu bola mata yang memandangnya nyalang.

Penyusup itu bahkan tak bisa menjeritkan rasa sakit sebab Kim Dokja sudah lebih dulu membungkam suaranya dengan sihir. Darah pekat menetes ke lantai putih penginapan. Namun raut di paras lelaki itu tidak berubah sedikit pun. Dia menjatuhkan bola mata itu ke lantai lalu kembali berbisik dengan nada yang lebih rendah.

"Bukankah wangi dupaku terasa menyegarkan? Bahkan jika aku mencincang tubuhmu dan membiarkannya membusuk di kamar ini, aromanya tetap tidak akan bisa mengalahkan wangi dupaku."

Tubuh penyusup itu bergetar, sekarang dia mengerti mengapa bangsawan muda itu memasang dupa dengan wangi yang terlampau menyengat.

"Ah, pamanku yang malang. Dia bahkan tidak bisa melihat keponakannya berduka dengan tenang barang sedikit."

Pernyataan tersebut menyadarkan si penyusup jika misi ini sudah tidak ada kesempatan. Bangsawan muda ini telah mengantisipasi kedatangannya sejak awal. Dia sudah tahu siapa yang mengirimnya! Dibanding itu, menyebut dirinya berduka ketika dia sendiri sudah melepaskan pakaian berkabung ... kontradiksi itu terdengar begitu mengerikan. Tiada setitik pun kesedihan di matanya selain bibit kegelapan.

Kim Dokja lalu berdiri, celana putihnya ternodai jejak merah. Dia berbalik tenang memunggungi musuhnya bersamaan dengan kerucut es setinggi orang dewasa tumbuh dari lantai dan menusuk tubuh si penyusup, merenggut nyawanya dalam satu kedipan mata.

Lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, dia melap jemarinya yang kotor. "Sampai kapan kau akan menonton di sana?"

Sebuah api emas berderak di tengah ruangan yang hanya disinari cahaya bulan. Api yang perlahan-lahan membentuk bayangan sesosok pria tampan berpakaian hijau.

Nirvana terkekeh, sebuah kipas lipat dimainkannya di tangannya. "Tampaknya kami perlu memperbarui informasi tentang riwayat Anda."

"Begitukah?" Kim Dokja mendudukkan dirinya kembali ke tepi ranjangnya, dia menunduk meraih sepatu botnya yang diletakkan di dekat kaki tempat tidur.

Sikap santai nyaris sembrono lelaki itu berhasil mengurai senyum Nirvana. "Saya tadinya berpikir ingin menghabisi Anda sambil melempar kesalahan pada kebodohan orang lain."

Kim Dokja selesai mengenakan sepatunya dan kini meraih mantel putihnya di gantungan. Dikenakannya mantel berbahan bulu serigala putih itu secara pribadi.

"Anda hendak ke mana?" tanya Nirvana kemudian.

"Kau tertarik?"

Nirvana mengangguk jujur menyatakan, "Iya, saya tertarik."

"Tertarik saja tidak cukup," gumam Kim Dokja. Dia mengukur singkat Nirvana. "Karena kau sudah di sini, lebih baik bergabung denganku." Diulurkannya tangan ke arah pria itu.

Nirvana menyambutnya tanpa ragu dan selekas itu pula sebuah lingkaran sihir biru menyala di bawah kaki keduanya. Waktu lain Nirvana berkedip, pemandangan sekitarnya tidak lagi menjadi kamar penginapan melainkan sebuah taman.

Nirvana terperanjat, tidak menyangka remaja ini bisa menggunakan sihir teleportasi yang sulit. Di seluruh kontinen, tidak lebih dari dua puluh penyihir yang mampu menguasai sihir teleportasi. Nirvana sendiri bisa berpindah sesuka hatinya karena memanfaatkan keunikan elemennya. Dia bisa hadir di mana saja selama tempat itu memiliki jejak api, sebagaimana dia menyusup ke kamar Kim Dokja yang masih menyalakan dupa. Sihir miliknya juga terbatas hanya bisa memindahkan dirinya seorang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

[BL] Crimson Throne (JoongDok)Where stories live. Discover now