[2] Kematian Tanpa Akhir

606 113 12
                                    

"Yang Mulia, tidakkah Anda terlalu bekerja keras?"

Kim Dokja sedang meneliti lingkaran sihir pertahanan kuno untuk mengembangkan keamanan area perbatasan Tenggara kekaisaran dengan Hutan Terlarang. Dia sadar bahwa tingkat keamanan penduduk sangan rentan dalam kisaran area tersebut. Sihir pelindung yang membatasi kota dengan hutan kuno itu adalah sihir yang dibubuhkan oleh mendiang Penyihir Agung Pertama.

Namun, sudah lebih ribuan tahun semenjak Penyihir Agung Pertama meletakkan segel pelindung di sana. Masa demi masa, sihir itu perlahan melemah digerus waktu. Walau menurut Penyihir Agung Kesembilan saat ini, sihir pelindung itu akan bertahan setidaknya beberapa generasi mendatang, Kim Dokja masih dilingkupi kecemasan.

"Anomali perbatasan tidak bisa kita sisihkan begitu saja. Sudah sepuluh tahun belakangan ini, para penduduk merasa bahwa pergerakan monster di hutan semakin aktif."

"Meskipun begitu, segel pelindung Penyihir Agung Pertama bukan hal yang mudah untuk ditembus, Yang Mulia. Ini bukan persoalan yang mesti Anda khawatirkan."

Kim Dokja menolak untuk mendengar dan terus melanjutkan penerjemahan naskah kuno yang ditekurinya.

"Yang Mulia, Anda butuh istirahat. Anda baru saja kembali dari ekspedisi di Tanah Utara, sudah sewajarnya Anda menangguhkan semua pekerjaan dan mengambil hak Anda sebagai pemimpin untuk memerintah para bawahan lain melanjutkan tugas ini."

"Aku menolak." Kim Dokja meletakkan penanya. Matanya berpaling mengatensikan pemuda yang menjadi tangan kanan setianya lekat-lekat. "Kau bisa mendapatkan apa pun dengan uang dan kekuasaan, tapi tidak dengan waktu. Kau tak pernah bisa memutar waktu, Hyunsung."

Sebagai seorang Putra Mahkota dan calon Kaisar di masa depan, Kim Dokja menanamkan kewajiban dalam hatinya. "Sama halnya dengan aku yang tak punya kemampuan mengembalikan waktu jika terjadi kesalahan. Ketika nyawa rakyatku terancam, sebelum kematian merenggutnya, aku tak akan bisa diam begitu saja tanpa melakukan apa pun yang kumampu untuk mencegahnya. Ketika skenario terburuk itu terjadi, sudah akan terlambat untukku melakukan sesuatu."

Kim Dokja menarik kurva tipis di bibirnya, seolah tiap kata seriusnya hanya bagian dari beberapa obrolan ringan. "Kita tak bisa mengira bagaimana hidup berjalan, tidak ada yang tahu seperti apa hari esok. Kita hanya bisa bersiap untuk segala kemungkinan terburuk yang takdir tentukan."

∎∎∎

Terdengar ketukan pelan di pintu, disusul suara Aileen menutur sopan, "Tuan Muda, saya membawakan secangkir cokelat panas dari dapur."

Kim Dokja menarik napas panjang. Napasnya memburu, terengah dengan keringat dingin yang mengalir di pelipis. Lelaki itu memeluk dirinya, merasakan tubuhnya utuh tanpa satu pun rasa sakit yang tersisa. Padahal baru sekejap lalu dia merasakan ujung es itu menembus seluruh tubuhnya, mengoyak kulit dan menusuk tajam organ-organnya. Dia yakin merasakan hangatnya rembesan darah dari tubuhnya yang bercampur dengan dinginnya keping salju.

"Tuan Muda?" Panggilan lembut dari luar pintu menyadarkan Kim Dokja kembali akan realitas.

Remaja itu beranjak bangkit dari sofa dan bergegas menarik langkahnya menuju cermin. Refleksi di dalam kaca menampilkan sosok remajanya yang masih teringat jelas dalam ingatannya.

Kim Dokja berlari meraih piringan tanggal di atas meja, memastikan tanggal hari ini kemudian terpaku. Hatinya serasa mencelus dengan kenyataan yang dihadapkan di depan matanya.

Dia kembali di hari yang sama ketika dia memutuskan bunuh diri dan menolak menjalani pengulangan hidup malangnya yang kedua kali.

"Tuan Muda? Apa Anda tertidur?"

[BL] Crimson Throne (JoongDok)Where stories live. Discover now