Between Us 10

308 112 8
                                    


Kami berjalan menyusuri lorong mal, sesekali ada pengunjung yang gemas melihat Shanum. Sebenarnya aku merasa tak nyaman, selain khawatir ada rekan kantor, aku juga sebenarnya cemas jika terlalu lama berada di keramaian seperti ini. Kecemasanku sebenarnya khawatir jika tiba-tiba Andika muncul.

Pria itu sampai sekarang masih terus mencari informasi tentang aku. Meski Andika tidak berada di kota ini, tetapi sebagai manajer marketing, tentu tidak menutup kemungkinan dia juga akan singgah ke sini. 

"Kamu mau kita makan siang dulu atau ...."

"Langsung aja ke tujuan. Kebetulan aku masih kenyang."

Damar mengangguk, dia kemudian menggantikan aku mendorong trolly Shanum. 

"Aku lihat kamu merasa tidak nyaman," ujarnya setelah kami kembali berjalan. "Aku tahu, kamu pasti malu karena pasti setiap orang yang melihat akan berpikir jika kamu sudah berkeluarga. Iya, 'kan?" Damar menatapku dengan bibir melebar.

"Maaf, kalau kamu merasa aku menjatuhkan mentalmu," imbuhnya.

Tak kutanggapi ucapannya, meski memang itu yang terlintas. Kami lalu masuk ke toko perlengkapan yang menyediakan segala macam pernak pernik dari mulai box hingga wallpaper dan semua yang berhubungan dengan ruang untuk bayi. 

Meski tadi dia membatalkan untuk mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan desain ruangan untuk bayi, tetapi karena kami melewati toko perlengkapan yang dimaksud, mau tidak mau, aku setuju dengan usulannya.

Sejenak memoriku menarik mundur. Sebenarnya aku pun sudah berkeluarga dan memiliki anak jika saja pernikahan itu tidak kandas. Mengingat peristiwa silam terasa ada yang teriris di hati yang membuat pedih datang tiba-tiba.

"Wah, Bapak Ibu akan membuatkan kamar untuk adik cantik ini?" tanya seorang pelayan toko tersebut.

"Oh, nggak, kalau untuk dia sudah ada," terang Damar.

"Oh, sudah ada ya, berarti apa ini akan disiapkan untuk adiknya?" Pertanyaan ramah dari pelayan itu justru menjadi hal yang semakin membuatku tak nyaman.

"Jadi mau rencana untuk anak cowok atau cewek lagi, nih, Pak , Bu?"

Ingin rasanya kuinjak kaki Damar agar dia bicara yang sesungguhnya. Namun, ternyata pria itu hanya membalas dengan tawa.

"Eum, aku mau ajak Shanum ke sana, ya." Aku mengambil alih trollynya. 

"Eh, tunggu, aku butuh masukan untuk ...."

"Seperti perjanjian tadi, aku hanya memberi saran, selebihnya kamu bisa atur sendiri. Lagian Shanum sepertinya bosan berada di sini."

Damar menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. Sedikit lega dengan reaksinya, aku melangkah meninggalkan Damar. Mataku tertumbuk pada baju-baju lucu yang berjajar tak jauh dari tempatku berdiri.

"Hai, Cantik! Sepertinya ada baju bagus buat kamu. Kita ke sana ya?" Ku bungkukkan badan menyapa bayi cantik itu.

Seperti yang kuduga, Shanum selalu bereaksi gembira saat kami bertatapan, dan anehnya aku selalu larut dalam kegembiraan saat menatapnya.

"Warna lilac sepertinya cantik buat kamu, Sayang." Kuambil bandana lilac bermotif bunga, kuletakkan di kepalanya. "Shanum suka?" Bayi cantik itu tersenyum mengangkat kedua tangan dan kakinya seolah setuju dengan ucapanku.

"Oke, kita ambil yang ini sama ... baju itu juga bagus, Shanum, tapi ... sepertinya masih kebesaran buat kamu, nanti aja deh, ya. Sekarang gimana kalau sepatu?"

Seperti biasanya, Shanum tersenyum dengan mata berbinar. Setelah beberapa keperluan Shanum yang lain sudah terkumpul, aku berbalik hendak memanggil Damar. Akan tetapi, betapa terkejutnya ternyata pria itu sudah berdiri tepat di depanku.

Between Us -- Lebih Cepat Ada Di KBM App On viuen les histories. Descobreix ara