Bab 1

9 0 0
                                    

Pada mading SMA Eclipse River, terpampang sebuah kertas pengumuman pemenang lomba pidato antar sekolah. Posisi Juara 1 lomba tersebut adalah Frank Wynn, sebuah nama yang tidak asing lagi di antara para siswa-siswi SMA tersebut. Sudah banyak lomba yang dijuarainya, paling sering adalah lomba pidato. Meskipun namanya sudah sering keluar sebagai pemenang, tetap saja orang-orang tidak bosan menjadikan Frank Wynn sebagai topik obrolan.

“Mr. Wynn, selamat atas terpilihnya sebagai Juara 1 Lomba Pidato pekan lalu,” puji Pak Semple sambil menjabat tangan Frank di koridor sekolah.

“Terima kasih, Pak,” balas Frank dengan merendah, seperti biasanya.
Bagi Frank, mengikuti berbagai macam lomba adalah salah satu cara untuk membuat hidupnya tidak sia-sia. Menurutnya, bermain game atau mengonsumsi berbagai jenis hiburan lainnya adalah hal yang membuang waktu banyak karena tidak ada pencapaiannya. Dalam game, memang ada pencapaian tertentu tetapi itu tidak nyata. Hidupnya terasa bermakna ketika telah berhasil meraih suatu pencapaian, selain dari berbuat kebaikan.

Di sudut lain koridor, dekat loker sekolah, berdiri dua orang siswi SMA tersebut.

“Bella, pagi ini ada good news! Frank lagi-lagi juara, tuh! Kamu pasti bahagia banget! Dia dapat hadiah selain uang, juga kupon beli satu gratis satu dari cafe yang baru buka minggu ini!” seru Davina Fenner sambil menyikut lengan temannya yang sedang menutup pintu lokernya.

“Iya, tahu, tahu. Aku sih gak akan pernah kudet sama pencapaiannya,” sahut si pemilik nama. Dia adalah Bella Hayden, siswi kelas X sama seperti Frank dan Davina.

“Oh ya, kamu kok belum aja confess sama dia, sih? Orang yang pintar bikin puisi kayak kamu nggak mungkin dia tolak!” Davina menyemangati.

“Biar dia tahu sendiri perasaanku ini nanti. Takutnya pertemanan kita malah jadi merenggang kalo aku yang confess duluan ke dia,” kata Bella seperti bermimpi. Dia meletakkan kedua kepalan tangannya di bawah dagu dan tersenyum dengan mata yang sayu.

Davina tiba-tiba berwajah muram. “Walaupun aku telah ditolaknya, bukan berarti kau juga akan bernasib sama. Coba dulu aja! Nyesek lho kalo gak pernah confess, tahu-tahu dia sudah jadian sama orang lain!” serunya.

Seorang siswa menghampiri Davina, lalu menggamit lengannya. Wajah Davina terlihat sumringah.

“Aku sih bisa kapan saja traktir kamu, Davina. Gosah tunggu punya kupon kayak gitu dulu,” ujar siswa itu. Dia adalah Hans Durchdenwald, pacarnya Davina.

Hans dan Davina sudah menjalin hubungan selama beberapa bulan sejak awal tahun ajaran. Mereka berjalan ke kelas bersama, karena mereka berdua mengambil kelas Sastra Inggris. Di kelas inilah kedekatan mereka terbangun. Sedangkan Davina berteman dengan Bella karena mereka berdua adalah tetangga.

Bella juga mengambil kelas yang sama, jadi mereka berjalan bertiga. Melihat kedekatan pasangan di depannya, dalam hati Bella merasa iri juga. Bukan dalam artian dengki, tetapi lebih condong pada perasaan ingin. Dia merasa seperti “sepasang roda ketiga” pada sepeda, yaitu roda kecil tambahan yang dipasang pada roda belakang.

Seorang anak supaya semakin mahir bersepeda, biasanya akan membuang sepasang roda kecil tersebut. Jika Hans dan Davina sedang mengobrol, Bella tidak dapat bergabung dengan obrolan mereka dalam waktu yang lama. Bahasan mereka semakin banyak yang tidak Bella pahami, karena kedua sejoli itu semakin membahas mengenai hal-hal di antara mereka berdua yang tidak banyak diketahui oleh Bella.

Temannya itu tentu saja tidak berniat untuk mengabaikan Bella, tetapi tetap saja Bella sering merasa tidak lagi dibutuhkan dalam obrolan yang tadinya merupakan diskusi bertiga, sama seperti roda kecil untuk sepeda tadi.

Obrolan yang mengerucut pada hal-hal di antara Davina dan Hans pasti selalu saja terjadi dan Bella hanya dapat menyimak dengan banyak mengernyitkan dahinya. Kembali ke keadaan saat ini, mereka berdua tidak sempat untuk mengobrol karena kelas akan segera dimulai. Tiga remaja itu menempatkan diri mereka pada kursinya, tas mereka dan semua orang sudah disimpan dalam lokernya masing-masing. Akan tetapi, Hans segera bangkit lagi dari kursinya karena hendak keluar dari ruang kelas.

Multiverse MadnessWhere stories live. Discover now