Tiga

2 0 0
                                    


Bagi Rianti, jenis makanan itu hanya ada tiga: enak, enak banget, dan nggak enak. Selama dia masih bisa menelan suatu makanan, artinya makanan itu enak. Kalau dia sampai ingin lagi dan lagi, artinya enak banget. Kalau sekali cicip dia tidak sanggup menghabiskannya, sudah jelas berarti nggak enak. Dan Rianti sudah mengambil dimsum keempat yang disuguhkan di piring kecil, sampai membuat cewek di depannya tersenyum lebar.

"Aku tahu kali ini berhasil."

Dengan mulut penuh, Rianti mengangguk. Dia sampai menggeleng merasakan tekstur daging bercampur parutan wortel yang begitu nikmat. "Lagi, dong."

Sumringah melihat reaksi temannya, Mia bergegas pergi ke kamarnya yang ada di sebelah kamar Rianti, lalu kembali dengan dimsum yang uapnya masih mengepul. "Udah cocok dapet suami, kan, ya?"

"Calonnya udah ada?" tanya Rianti dengan mulut penuh. Usia Mia 25, hanya satu tahun di atas Rianti. Dan perempuan berjilbab itu tidak punya rencana kapan akan menikah, padahal sama seperti Rianti, dia juga ditanya sana-sini kapan nikah. Sekarang sih Rianti sudah aman. Dia sudah bisa menjawab pertanyaan itu.

"Belum. Tapi kan nggak salah aku lagi belajar memantaskan diri."

"Udah, sama Farrel aja, sih. Nggak masalah sama berondong juga." Rianti menyebut nama cowok yang pernah nembak Mia. Rekan kerja mereka, lebih muda tiga tahun, freshgraduate, dan cukup menarik.

"Aku nggak masalah soal umur," jawab Mia sambil menyelonjorkan kakinya yang dibalut kaos kaki hitam bermotif bunga-bunga kecil. "Ya beda dua-tiga tahun mau itu lebih muda atau lebih tua, oke aja. Asalkan langsung nikah. Kalau Farrel kan belum siap. Buat apa?"

"Ngebet nikah banget, sih, Mbak." Rianti meledek. Dia sudah tidak sanggup menambah dimsum lagi meski ingin, jadi sekarang dia pun ikut menyelonjorkan kaki dan memegang perutnya yang kekenyangan.

"Bukan ngebet. Tapi ya memang prinsipku untuk nggak pacaran sebelum nikah."

"Kamu nggak takut nikah tanpa mengenali kayak gimana sih sifat cowok yang bakalan jadi pasangan kamu? Jujur, aku sih takut. Udah pacaran bertahun-tahun aja, belum tentu kan, sifat atau sikapnya setelah nikah sama?"

"Nah, tuh kamu ngerti. Pacaran bukan jadi jaminan apakah yang jadi pasangan kita itu baik atau nggak setelah menikah, cocok atau nggak. Baiknya belum pasti, tapi dosanya udah pasti." Jleb banget buat Rianti, tapi ya gimana ya, dia udah telanjur sama Davin. Udah mau nikah. "Dan menjawab pertanyaan kamu, jujur aku memang agak takut, sih. Kadang aku berharap jodohku itu orang baik yang sebenarnya selama ini ada di sekeliling aku, dan aku nggak tahu dia nunggu aku, tapi terus dia tahu-tahu ngelamar lewat Abi."

"Kamu mah kebanyakan baca novel, jadinya kayak gitu."

Mia tergelak. "Eh, gimana progres kamu sama Davin?"

"Davin masih cari-cari gedung yang sesuai sama budget, sesuai sama kriteria yang dicari. Nggak terlalu gede, tapi juga nggak sempit biar leluasa. Aku juga belum mulai desain undangan. Masih nemuin aja yang lucu-lucu. Doain aja lancar."

Mia mengangguk. "Mudah-mudahan semuanya aman, lancar, nggak cuma sampai hari H, tapi sampai seterusnya."

Rianti mengamini. "Aku mau mandi dulu. Gara-gara dimsum kamu, jadi nunda mandi. Kamu di sini dulu, kan?"

"Idih, dimsum disalahin. Ya udah sana mandi. Habis ini beli ayam geprek."

"Nggak pecel lele aja? Aku udah kangen lele, nih."

"Bolehlah."

Rianti langsung mengambil handuk dan pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sepuluh menit kemudian, dia keluar dengan piyama lengan panjang dan wajah segar. "Ayam geprek aja, deh! Pecel lele jauh."

Mia yang sedang sibuk dengan ponselnya memutar bola mata. "Labil banget. Eh, ada telepon tuh tadi dari Ken."

Deg!

"Siapa Ken? Aku baru denger kayaknya."

"Temen kampus." Rianti menjawab pelan. Dia lantas meraih ponsel, mendapati dua panggilan tak terjawab dan empat pesan WhatsApp dari Ken.

Ken

Hai, Ri

Lagi apa?

Sibuk nggak?

Butuh temen ngobrol nih

*

Dengan sisa-sisa senyum di bibir, Ken meletakkan ponselnya di meja lalu menyesap kopi yang tinggal setengah gelas. Matanya melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 21.50. Tiga puluh lima menit waktu yang dia habiskan untuk mengobrol dengan Rianti, dan semua berlalu tanpa terasa. Obrolan mereka awalnya canggung, tapi siapa menduga ternyata seru dan bisa membuat perasaan Ken membaik?

Sudah dua hari ini Ken gelisah karena Aster tidak juga mau membalas chat dan mengangkat teleponnya. Alasannya sederhana, karena Ken tetap memutuskan untuk kembali ke Jakarta, sementara Aster memohon agar dia menunggu sampai Aster diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Kalau saat kuliah dulu, Ken akan berusaha keras agar Aster tidak marah. Bukan satu atau dua kali dia membolos demi menemani Aster yang ingin nongkrong. Pernah juga Ken sampai tidak ikut foto kelas karena Aster memaksa untuk nonton. Bahkan, di akhir perjuangan skripsinya, Ken melewatkan bimbingan demi bisa sidang bersama karena Aster akan marah jika Ken satu langkah di depannya.

Sekarang, setelah lulus dan bekerja, Ken tidak bisa seperti dulu lagi. Dia tidak bisa izin seenaknya. Dia harus tahu yang mana prioritas. Uhm, harusnya dia tahu itu sejak dulu, tapi yah, lebih baik terlambat menyadarinya daripada tidak sama sekali, kan?

Kadang... Ken bingung. Kenapa dia merasa semua yang dilakukannya adalah bukti bahwa dia laki-laki gentle, tapi sekarang dia jengah dengan sikap Aster yang kekanakan?

Jadi, yang bisa Ken lakukan jika Aster marah seperti sekarang ini hanya menunggu sambil tetap mengirimi chat dan menelepon meski tidak mendapat jawaban. Namun, meski sudah tahu apa yang bisa dia lakukan, tetap saja dia gelisah. Punya masalah dengan orang lain—apalagi pasangan—bukan hal yang menyenangkan. Untung saja Ken menghubungi Rianti.

Ken baru saja berdiri dari duduk saat ponselnya bergetar. Dilihatnya nama Rianti di layar yang membuatnya tersenyum. Perempuan itu mengirimkan beberapa foto KKN dulu. Ken melihat satu persatu sambil memutar kembali kenangan masa lalu. Setiap foto membuatnya sadar, bahwa dia memiliki perasaan khusus untuk Rianti. Perasaan yang tentu saja dia sadari salah.

Kalau aja dulu sama-sama single.

Ken terkejut dengan pikiran yang muncul begitu saja. Dia berdecak, lalu mengucapkan terima kasih.

Rianti

Sama-samaa

Jadi kangen KKN kan?

Wkwk

Ken menyunggingkan senyum.

Iya nih.

Kapan ya bisa reunian

Eh, gimana kalau kita meet up? []

*

ReconnectWhere stories live. Discover now