"Kok bisa, sih, Samuel bisa tega sama Elgi?" Abim membuka suara paling pertama usai keadaan sedari tadi hanya ada suara embusan angin dan krauk krauk dari kripik kentang yang dinikmati oleh Raki dan Divya.

"Jadi, pas kamu masuk, Elgi ngeluarin satu kalimat yang buat Samuel marah, abisnya, dia gak terima aku dikatain keluarga numpang kaya di keluarga Torres," jelas Cia lemas.

"Hmm, terus?" sahut Abim sambil mengelus bahu Cia dengan tujuan untuk menenangkan gadis itu.

"Kalimat nya itu, daripada lo, udah gak dianggep, tapi masih sok asik sama Kakek demi duitnya, padahal Bokap lo lagi main tic tac toe sama malaikat maut, noh! Belum lagi Nyokap tiri lo lagi jual diri. Sadar diri harusnya lo, Muel, bukan kayak gini! Itu yang dibilang sama dia, terus Samuel suruh temennya pukulin Elgi," jelas Cia sambil terisak tangisan.

Raki, Divya, dan Jevan membeku sambil meneguk saliva. Ternyata Elgi mengerikan juga kalau soal menyebarkan fakta, lebih tepatnya, aib.

Cia menangis histeris, Abim pun memeluk gadis itu dari samping. Cia yang memang membutuhkan itu pun pasrah dan menundukkan kepalanya di dada Abim.

"Aa sama Teteh kapan?" Raki membuka suara. Spontan Jevan dan Divya bertatapan.

"Kamu kenapa judesin aku, sih, daritadi?" tanya Jevan sedih.

"Ck, aku gak mau jauhin kamu, ini lagi latihan judesin kamu biar nanti terbiasa," jawab Divya ketus, hal itu membuat Raki dan Jevan tertawa kecil.

"Oh, iya, kita udah gak lama lagi mau ujian. Ternyata kelas 12 secepet itu, ya," ucap Jevan mengalihkan topik, tapi Cia dan Abim tak teralihkan oleh itu.

"Iya. Jevan, kamu mau lanjut kuliah?" tanya Divya.

Jevan mengangguk, "Iya. Aku mau nerusin cita-cita Mamah yang sempet gak kecapai karena dia sakit," jawabnya sambil mencomot potato chips milik Raki, tapi sang empu hanya pasrah karena jajanan itu berasal dari uang Jevan.

"Cita-cita apa, Jevan?"

"Jadi Sutradara. Mamah, tuh, suka banget sama hal berbau Filmography."

•••

Di malam yang sama, Jegan sibuk dengan tugas sekolahnya. Di meja belajar hanya terdengar alunan musik favorit Jegan, dan terdapat Jegan yang bersenandung sambil mencatat serangkaian materi yang hendak dikumpul besok pagi.

Dua bulan lagi, sekolah akan mengadakan ujian. Dia harus belajar, setidaknya sampai masuk eligible agar bisa berkuliah dan meraih cita-cita. Cita-cita yang berbeda dengan Jevan.

"Sibuk amat anak Papi," tegur Sang Ayah yang masuk tanpa permisi sambil memegang segelas kopi panas. Dia menghampiri dan merasa sedikit aneh dengan kelakuan anaknya yang terlihat sangat rajin.

"Papi gak kesel gitu, sama aku, karena masalah perjodohan itu?" tanya Jegan dengan fokus yang masih tertuju pada tugas sekolahnya.

"Papi nggak akan pernah marah soal itu. Lagipula, kamu ini sebenarnya opsi ke seribu dari banyaknya laki-laki yang mau dijodohkan sama Dara," jawab Ayahnya sambil menyimpan gelas kopi hitamnya di atas meja belajar Jegan.

Keadaan hening. Sang Ayah hanya sibuk memperhatikan sekitaran kamar Jegan yang tertata rapi dan wangi. Sangat tidak menggambarkan Jevan yang kamarnya seperti kapal pecah.

"Lulus nanti, ambil Designer, ya? Nerusin Papi, Nak," pinta Sang Ayah dengan mata yang masih kagum dengan keindahan kamar Jegan.

"Tapi aku gak ada bakat dibidang itu, Papi. Aku mau nya jadi Penulis. Bakat aku di situ," ungkap Jegan dengan menghentikan tulis menulisnya.

Lantas Sang Ayah terheran, "Bukannya dulu kamu bilang, kamu lebih suka–"

"Dulu, beda dengan sekarang. Sebenernya aku banyak nyimpen tulisan puisi ataupun cerpen. Papi aja yang gak tahu karena sibuk terus," tukasnya ketus. Jegan beralih mengambil sebuah buku novel yang dia pinjam dari perpustakaan sekolah.

Sang Ayah terdiam sejenak. Menjadi penulis juga merupakan bidang dari mantan Istrinya. Dia hanya berpikir, kenapa Anaknya tidak ada yang mengikuti hobi dan bidangnya, di dunia design. Apalagi Sang Ayah dikenal dengan design bajunya yang selalu memukau, bahkan selalu dipercaya oleh orang-orang kaya. Butiknya juga bercabang dengan Karyawan yang profesional.

•••

Malam yang sama juga, Rania terbangun dari komanya. Dia linglung dan hanya melihat alat-alat medis yang terpasang ditubuhnya. Dia tidak bisa bergerak selain bernapas dan berkedip. Dalam ruangan ada satu perawat yang nampaknya juga sadar akan kesadaran Rania.

Dia keluar untuk memanggil Dokter yang lebih profesional untuk menangani Rania. Rania tidak tahu prihal apa yang terjadi. Tapi, dia tiba-tiba merintikan air mata walau tubuhnya terbujur kaku karena alat medis.

Lalu tak lama setelah itu, datanglah Dokter bersama dua Perawat di belakangnya. Mereka mulai melepaskan beberapa alat medis yang terpasang ditubub Rania dan mengganti infus baru Rania. Hanya selang nasogastrik yang setia terpasang di hidung Rania.

"Dokter, saya kapan matinya?" tanya Rania nada pasrah.

"Saya pengen tahu, kapan saya mati, biar saya bisa kasih tahu anak saya, biar saya punya waktu untuk mereka dan mereka punya waktu untuk rawat saya yang terakhir kalinya. Saya kangen Anak saya yang di Jakarta."

Dokter tidak ada yang menghiraukan. Mereka sibuk dengan kerja mereka tanpa memedulikan Rania yang bergumam dan terisak.

"Saya mau mati dengan kondisi dipeluk anak saya."

TBC-

WADUH WADUH WADUH UNTUNG SAYA DI TENGAH.

kalian - saya - samuel

Aoqkaowka

Switch | Jake EnhypenМесто, где живут истории. Откройте их для себя