"Hutang kamu 50 juta, dan itu banyak, Lang. Aku nggak pun----"

"Aku lagi punya proyek sama Rico, kaget 'kan? Aku emang sengaja nggak mau kasih tahu kamu dulu. Tapi karena udah kayak gini, kamu nggak usah khawatir."

"Rico?" Lavana mengerjap, atas informasi yang diberikan Gilang dengan mengebu-ngebu setelah memotong kalimatnya. "Rico yang itu? Rico Hartono? Proyek apa? Kamu percaya sama d----"

Gilang berdecak keras. "Maksud kamu? Nggak usah sok tahu dan bawel lagi, deh."

"Bukan gitu, tapi Rico pernah---"

"Hoax terus aja yang kamu percaya. Aku ngapa-ngapain selalu kamu protes. Heran, kok kamu kayak nggak suka gitu lihat aku berhasil?!" selanya tajam. Ia juga mendorong Lavana menjauh dari tubuhnya dengan kasar.

"Bisa nggak, sekali aja dukung tanpa harus bawel?! Lo itu masih pacar gue anjing, nggak usah ngatur!"

"Maaf, Lang." Lavana meringis, meremas bahunya yang terbentur kasar dinding.

"Nangis. Nangis aja terus yang lo bisa dan bikin gue jadi yang jahat disini."

"Lang, maaf."

Lavana meraih tangan pria itu, ia harus menghela napas syukur saat Gilang tidak kunjung menepisnya seperti biasa. Sekalipun pria itu menjadi tidak meliriknya kemudian.

"Lo pulang sana. Ngelihat lo malah makin bikin mood gue hancur."

* * * * *

"Nggak usah sok akrab," seru Jane Silalahi langsung begitu orang yang sengaja memberikan jarak dua kursi agar tetap kosong disebelahnya adalah Leonard Arion.

"You don't look okay."

Jane Silalahi memainkan gelas sloki yang terapit di antara jari telunjuk dan jempolnya. Mencibir dalam hati lontaran kalimat Leon yang, tanpa perlu pria itu katakan, ia juga sudah tahu. Dan mungkin semua orang juga tahu, duduk menyendiri di bar dengan wajah sembab bekas air mata cukup membuatnya terlihat begitu sangat menyedihkan, di antara kontrasnya hinggar binggar kelab malam tersebut.

Mungkin itu juga yang membuat Leon berani menghampirinya. Karena ia sangat menyedihkan.

"... Temuin fakta kalau cowok lo, lebih tertarik sama sejenisnya memang bisa bikin lo baik-baik aja?" Namun, entah mengapa, Jane malah menanggapinya. Mungkin karena efek Long Island yang ia minum. Tidak hanya mengikis kesadarannya, minuman sialan itu juga turut serta mengikis kebenciannya.

"Wow, not bad too."

"Yeah, dan itu malah sama asisten gue sendiri."

Jane menoleh. Mini dress dengan tali spageti yang memamerkan tidak hanya bahu dan lengannya itu membuatnya jadi berkali-kali lipat lebih mempesona dibawah timpaan lampu di area bar yang tidak seremang-remang dance floor. Leon menyayangkan Jane jatuh pada pria yang salah.

"Lo kelihatan agak normal dikit setelah keluar dari penjara." Jane berkomentar singkat, tidak memuji atau apa, tapi memang, Leon yang brutal dan kasar itu tidak pernah ia dengar lagi. Mungkin pria itu sudah menemukan tobat saat di penjara, atau ada faktor lain yang membuatnya jadi kalem. "Lo ciptain keributan besar waktu itu, sampai cukup sulit buat keluar."

"Sebenarnya gampang, tapi dia membuatnya jadi sangat sulit."

Jane melebarkan matanya dramatis. "Oh, dia yang disana itu?" serunya main-main.

Mendengar nada mengejek itu, Leon jadi memutar kepalanya untuk menemukan sosok Agam Maverick Smith di sudut ruang lain. Ruang yang lebih tenang, area yang meski menyatu dengan lantai satu, tetap memberikan kesan VIP, dan sosok direktur Prawara Group sedang duduk disana.

Hello, AGAMWhere stories live. Discover now