BAB 8 : Menari di Bawah Bayang-bayang Benci dan Cinta

6 4 0
                                    

Raden Roro Ayu Banowati, sosok ibu yang memancarkan ketenangan luar biasa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Raden Roro Ayu Banowati, sosok ibu yang memancarkan ketenangan luar biasa. Amarah bagaikan tamu asing yang jarang menyapa hatinya. Beliau selalu bersikap santun dalam berbicara dan bertindak, memancarkan aura anggun yang memukau. Bagi saudara-saudaraku, Ibu Roro adalah ibu sambung yang patut dihormati, sedangkan bagiku, beliau adalah ibu kandung yang penuh kasih sayang. Beliau tidak pernah pilih kasih dan selalu memberikan perhatian yang adil kepada semua anaknya. Kehangatan dan ketulusan Ibu Roro membuat kami, anak-anaknya, tidak bisa berkutik atau membantah.

Pendopo menjadi rumah kedua bagiku sejak usia empat tahun. Di sanalah aku mendedikasikan hidupku untuk mempelajari seni tari tradisional. Bibi Gusti Kanjeng Ayu Banowati–adik ibuku, menjadi guru tari yang membimbingku dengan penuh kasih sayang. Profesionalisme dan kelincahan bibi Gusti dalam menari selalu membuatku terpesona. Setiap gerakannya menyatu dengan irama gamelan, penuh ekspresi dan penghayatan terhadap peran yang dibawakannya.

Pesan ibu selalu terngiang di telingaku. Selain tekun belajar menari, aku juga diwajibkan untuk selalu menaati perkataan Ayah Arya. Kalimat-kalimat keras ayah sering kali membuatku bingung dan sedih, namun aku belum cukup dewasa untuk memahami maknanya.

Alunan gamelan menjadi soundtrack keseharianku sejak kecil. Ritmenya mengiringi setiap langkah kakiku yang bergerak anggun di atas pentas. Selendang yang tadinya berwarna cerah kini memucat karena sering dicuci dan dipakainya untuk menari.

Rasa rindu akan sosok ayah kandungku selalu menghantuiku. Adipati Banowati Wijaya, begitu namanya terukir dalam buku harianku. Cerita-cerita tentang kebaikan ayah selalu diceritakan oleh Nenek Kanjeng, namun penyebab kematiannya selalu dirahasiakan dengan alasan aku masih kecil.

Batu nisan ayah menjadi tempatku mencurahkan isi hatiku. Aku tidak pernah lelah bertanya tentang penyebab kematian ayah, namun Nenek Kanjeng selalu menghindarinya dengan alasan aku belum siap untuk mendengar jawabannya.

Di tengah keheningan dan rasa penasaran, aku terus menari. Tarian menjadi media bagiku untuk mengungkapkan rasa rindu, kesedihan, dan berbagai emosi yang berkecamuk dalam diriku. Setiap gerakan penuh makna, menceritakan kisah seorang putri yang mencari jawaban tentang masa lalunya dan cinta yang tulus dari seorang ibu.

"Kata Ibu, aku harus mendengarkan perkataan ayah Arya." Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Namun, semakin aku mendengarkannya, semakin aku tidak bisa memahami maksudnya. Kata-kata ayah Arya yang keras dan penuh amarah selalu menyakitkan bagiku dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Di tengah kegelapan itu, Ibu selalu menjadi sumber cahaya bagiku. Beliau selalu memancarkan aura positif dan memberikan semangat saat aku merasa terpuruk. Dukungan Ibu membuatku sedikit demi sedikit memahami perkataan ayah Arya, meskipun tetap saja terasa menyakitkan.

Raden Mas Arya Wiratama, yang seharusnya mencerminkan sifat dan keadaanku sebagai "putra bangsawan yang pemberani dan menjadi harapan", kini terasa seperti sebuah ironi. Makna "menjadi harapan" itu bagaikan kandas di pemikiranku. Bagaimana bisa menjadi harapan, jika ayah Arya selalu mengucilkan aku dari pembagian harta dan segala hal lainnya? Berbeda dengan pembagian dari ibu, yang selalu adil dan penuh kasih sayang.

Ketidakadilan yang aku alami membuatku tidak ingin berharap banyak lagi. Aku selalu memaksa ibu untuk menceritakan semua hal tentang ayah, berharap bisa menemukan jawaban atas kebingunganku. Namun, beliau selalu terdiam dan tidak mau menceritakannya. Mungkin saja, ada hal yang paling diingatnya, jauh dari kenangan indah lainnya yang ingin aku ketahui.

Keheningan ibu semakin memperdalam rasa penasaranku. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah Arya, dan mengapa beliau selalu memperlakukan aku dengan tidak adil? Aku ingin tahu apa yang disembunyikan ibu dariku.

Di tengah rasa penasaran dan kekecewaan, aku terus mencari jawaban. Aku ingin menemukan kebenaran tentang masa laluku dan memahami mengapa aku harus hidup dalam situasi ini. Aku yakin, suatu saat nanti, aku akan menemukan jawaban yang aku cari.

Seiring waktu, sosok ayah Arya semakin memudar dari kehidupanku. Beliau tidak pernah muncul lagi saat usiaku bertambah, dan aku mulai tumbuh menjadi seorang gadis yang menyukai pakaian-pakaian lama milik ibuku. Pakaian-pakaian itu penuh dengan kenangan indah dan aroma ibu yang selalu membuatku merasa nyaman.

Namun, kecintaanku pada pakaian ibu tidak diterima dengan baik oleh saudara-saudara Belandaku. Mereka sering mengejek dan berkata, "Kamu semakin mirip dengan ibu. Aku tidak menyukainya." Kalimat-kalimat itu selalu membuatku sedih dan terluka.

Tertekan oleh ejekan dan kebencian mereka, aku terpaksa berganti pakaian menjadi pakaian usang milik mereka. Aku ingin sekali melawan dan mempertahankan kecintaanku pada pakaian ibu, tapi aku masih kecil dan belum cukup kuat untuk melawan mereka.

Ayah Arya pun tidak terkecuali. Beliau juga membenciku menggunakan atau menyamakan penampilan dengan ibuku. Beliau berkata, "Kamu tidak berhak mewarisi apa pun dari ibumu." Kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuk hatiku dan membuatku semakin terpuruk dalam kesedihan.

Kehidupan di rumah bagaikan neraka bagiku. Aku selalu dihantui oleh rasa benci dan penolakan dari saudara-saudara dan ayah Arya. Aku ingin sekali melarikan diri dari semua ini, tapi aku tidak tahu ke mana harus pergi.

Di tengah kegelapan itu, aku hanya bisa memeluk erat pakaian-pakaian ibu dan membayangkan wajahnya yang penuh kasih sayang. Beliau adalah satu-satunya orang yang selalu aku rindukan dan selalu aku cintai.

****

Namun, di tengah kesedihan dan kebencian itu, aku menemukan secercah harapan dalam bentuk menari. Pendopo, tempat di mana aku pertama kali belajar menari, menjadi tempat pelarian dan sumber kebahagiaanku. Di sana, aku bisa melupakan semua masalah dan menjadi diriku sendiri.

Bibi Gusti Kanjeng Ayu Banowati, adik perempuan ibuku, menjadi guru tari yang membimbingku dengan penuh kasih sayang. Beliau mengajariku berbagai macam tarian tradisional, dan aku menari dengan penuh semangat dan dedikasi.

Seiring waktu, kemampuan menari ku semakin berkembang. Aku mulai mengikuti berbagai pertunjukan tari dan mendapatkan banyak pujian dari para penonton. Menari menjadi bagian dari hidupku dan menjadi sumber kebanggaanku.

Pada usia 16 tahun, aku menjadi penari profesional yang terkenal di seluruh kerajaan. Aku sering tampil di hadapan para bangsawan dan pejabat tinggi, dan aku selalu memukau mereka dengan penampilan yang anggun dan penuh makna.

Menari telah membantuku untuk melewati masa-masa sulit dalam hidupku. Di saat aku dibenci dan ditolak oleh orang-orang di sekitarku, menari menjadi tempat di mana aku bisa menemukan cinta dan penerimaan. Menari telah memberiku kekuatan dan keberanian untuk menghadapi berbagai rintangan dalam hidup.

Meskipun aku masih dihantui oleh misteri tentang masa lalu ayahku dan kebencian dari saudara-saudaraku, aku tidak lagi merasa terpuruk dalam kesedihan. Aku telah menemukan jati diriku dan aku tahu apa yang ingin aku lakukan dalam hidup ini. Aku ingin terus menari dan menyebarkan keindahan dan keceriaan kepada orang-orang di sekitarku.

 Aku ingin terus menari dan menyebarkan keindahan dan keceriaan kepada orang-orang di sekitarku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Nirmala : Gamelan Ayu Banowati [End✓]Where stories live. Discover now