"Hah? Nggak, nggak!" tolak Dito. "Emang gue cowok apaan, nurunin cewek di pinggir jalan begini!"

"Tapi nanti ngerepotin kamu, lagi!"

"Nggak repot, Laras!" sergah Dito. "Udah lo duduk manis aja. Nanti kalau dah sampai, baru lo turun."

Laras tidak membantah lagi.

Mobil pun berhasil memasuki gang dan berhenti di depan gerbang kos. "Jadi, ini tempat kos lo?"

Laras mengangguk. "Iya. Mau mampir?"

"Emang boleh?" sebelah alis Dito menjinjit dengan tatapan jenaka khasnya.

"Boleh aja kalau cuma di ruang tamu." Sesaat sebelum turun, Laras kembali menghadap Dito. "Eh, Dit. Aku boleh minta sesuatu nggak?" Laras tampak ragu- ragu.

"Apa, Ras?"

"Tolong ... jangan bilang engg... orang kantor kalau kamu pernah ketemu aku, ya?"

Sejenak Dito terdiam. Kemudian akhirnya pria itu mengangguk mantap sembari tersenyum. "Kalau itu yang lo mau, Ras."

Laras kemudian turun, tanpa mengetahui bahwa di belakang  Honda Brio milik Dito, berjarak sekitar sepuluh meter, terparkir Toyota Alphard putih.

***

Setelah sekian lama, akhirnya Suta diperbolehkan untuk meninggalkan kursi rodanya dan beralih menggunakan kruk.

"Jangan terlalu sering membebani kaki kirinya ya, Pak," ujar dokter Endah. "Mungkin kisaran tiga bulan lagi kaki Bapak bisa berfungsi seperti sedia kala. Ini perkembangannya sangat bagus kok. Tinggal ditelateni saja latihannya ya, Pak. "

"Apa saya harus tetap datang seminggu dua kali, Dok?"

"Tidak perlu. Cukup seminggu sekali. Sisanya, Bapak bisa berlatih sendiri di rumah. Pagi atau sore. Dibikin rileks saja ya, Pak. Pasti sembuh kok, kalau Bapak rutin latihannya. "

Suta kemudian mengucapkan terimakasih, sebelum ke luar dari ruangan fisioterapis yang sudah hampir tiga bulan ini dia kunjungi.

Sebelumnya, ia menolak segala upaya penyembuhan yang disarankan oleh ibu maupun dokter yang menanganinya ketika kecelakaan dulu. Ia merasa hal itu tidak ada gunanya. Karena ia sudah kehilangan perempuan yang paling dicintainya.

"Kita pulang, Pak?" tanya Pak Gun yang sudah berada di balik kemudi. Suta berpikir sejenak, sebelum memutuskan untuk meminta Pak Gun kembali ke kantor. Ada yang tertinggal di ruangannya.

Dengan berjalan tertatih- tatih, menggunakan kruknya yang baru, Suta memasuki ruangannya. Ia heran ketika melihat half moon bag putih milik Laras masih tergeletak di atas meja. Padahal, kantor sudah sepi karena saat ini jam menunjukkan pukul enam lewat.

Karena ada jadwal fisioterapi, Suta meninggalkan kantor sejak  pukul setengah empat.

Suta akhirnya masuk terlebih dahulu ke dalam ruangannya untuk mengambil tablet yang tertinggal di atas meja. Saat ia ke luar, ia menemukan Laras dengan mata sembab, merah, dan basah. Perempuan itu seperti habis menangis.

"Kamu kenapa?"

***

"Sepertinya saya tidak bisa lanjut kerja di sini, Pak." Bisik Laras, amat lirih, dengan sesunggukan yang belum hilang sepenuhnya akibat satu jam menangis di toilet kantor.

Malam kemarin,  ketika baru saja pulang kerja,  perempuan itu merasakan kram luar biasa pada perut bagian bawahnya. Disusul kemudian, ia melihat  bercak merah kecokelatan pada celana dalamnya.

Segera saja ia menghubungi dokter Rio untuk membuat janji temu saat itu juga. Untung dokter Rio bersedia. Laras memanggil taksi daring pukul delapan malam, sampai tempat praktik dokter Rio sudah hampir jam sepuluh malam.

Usut punya usut, dokter berusia 38 tahun itu tahu problem Laras yang pelik yang hamil tanpa didampingi suami. "Kelelahan, Bu Laras." Ujar sang dokter dengan nada yang sama lelahnya.

Seharusnya, praktik di Kebagusan sudah tutup pukul setengah sembilan malam. Namun, sang dokter masih bersedia menyelipkan Laras dalam jam  praktinya. "Apakah..."

"Sebenarnya, flek adalah hal yang cukup sering dijumpai pada kehamilan. Tidak perlu khawatir, kali ini masih bisa diselamatkan, Bu. Tapi ke depannya, tolong dijaga. Masa- masa trimester pertama memang paling rawan abortus. Pemicunya mungkin stress. Bisa jadi pikiran atau kelelahan nggak hanya secara fisik, tapi juga psikis." Terang dokter Rio. Suster Evi menunggu dengan sabar di ambang pintu ruang praktik yang lengang itu.

"Maaf, apakah Bu Laras bekerja?"

"Ya, Dok. Dari jam delapan sampai jam lima sore,"

"Kalau begitu, ibu ambil cuti selama beberapa hari. Sampai keadaannya membaik. Barulah ibu bisa beraktivitas secara normal kembali."

Laras hanya tercenung.

Pagi tadi, ia berangkat menggunakan taksi online karena menghindari berlarian dan berdesakan di TransJakarta atau kereta seperti yang ia lakukan setiap harinya. Hanya saja, sampai kapan ini harus berlangsung?

Sampai kapan dirinya harus hidup dalam kecemasan karena takut terjadi sesuatu dengan janin dalam kandungannya? Belum lagi pertanyaan yang selalu mengganggu benaknya, tentang bagaimana ia akan membesarkan bayi ini kelak.

Maka dari itu, hari ini, ketika bekerja ia lebih banyak diam. Linda dan rekan lainnya mengatakan bahwa wajah Laras terlihat amat pucat, sehingga mereka memaksa perempuan itu untuk beristirahat di ruang kesehatan saja.

Dan hal tersebut, sempat menjadi sumber kecemasan Suta siang tadi, saat tak menemukan Laras di mejanya.

"Kenapa memangnya?" tanya Suta. Tetap dingin. Dan datar. "Kamu nggak suka jadi sekretaris saya?" Mereka memutuskan untuk duduk di ruangan Suta.

"Keadaan saya nggak memungkinkan untuk melanjutkan kontrak kerja, Pak.  Saya punya kondisi..."

"Tolong jangan berputar- putar! Katakan saja yang sejujurnya. Dan masalah ini akan segera terselesaikan tanpa harus ada drama berkepanjangan." Potong pria itu sengit.

"Saya hamil, Pak."

***

Miss Dandelion Donde viven las historias. Descúbrelo ahora