• Just a dream - 10

350 93 34
                                    

"Apa ini tidak terlalu kencang? Aku takut Prince terganggu."

"Kamarku kedap suara."

Musik menggema ke seluruh kamar Victor dengan volume tinggi, sebab itu Jerella mengkhawatirkan keadaan. Masalahnya ini malam hari yang mana mayoritas orang sedang beristirahat. Tapi untungnya kamar pria itu kedap suara, jadi tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.

Victor bernyanyi di depan Jerella mengikuti lirik di layar televisinya dengan semangat. Mengajak Jerella untuk melakukan hal yang sama, agar suasana hati mereka merasa lebih baik. Kadang kala bernyanyi dengan suara lepas juga bisa melepaskan kesesakan di dalam jiwa. Beberapa orang sudah membuktikannya.

Selang puluhan detik, Victor menghela nafas sebelum mengambil remot dan merendahkan volume musik itu. Dia menatap Jerella dengan serius hingga gadis itu menjadi gugup.

"Kau tidak suka lagu Taylor Swift?" tanyanya.

"S-suka," jawab Jerella.

"Aku akan ganti lagu jika kau tidak hafal. Katakan saja."

"Iya Tuan."

"Mau ganti lagu apa?"

"Tidak perlu."

"Kau hafal lagu Love Story?" Jerella mengangguk dua kali. "Keluarkan suaramu. Kita senang-senang malam ini. Aku juga merasa mumet karena bekerja seharian ini. Kau tidak perlu malu, anggap saja aku ini temanmu. Dan di antara teman minim sekali merasa canggung."

Dengan ragu Jerella mengangguk. Lalu suara musik kembali terdengar lebih tinggi melebihi lima puluh persen volume. Diiringi suara asli milik Victor yang menyeimbangi.

"Romeo take me somewhere, we can be alone. I'll be waiting; all there's left to do is run," nyanyi Victor. Lalu tiba-tiba menarik Jerella lebih dekat dan menyondorkan mic di tangannya itu ke depan bibirnya. Jerella pun melanjutkan lirik lagu tersebut meski masih dengan malu-malu. "You'll be the prince and I'll be the princess. It's a love story, baby, just say yes."

Selang beberapa lagu, kerongkongan Victor sampai terasa mengering karena menyanyi dengan semangat. Dia terbatuk-batuk pelan sebelum pergi ke nakas untuk mengambil air minum. Hal itu membuat Jerella menoleh ke arahnya dan datang menyusul setelah ia menaruh mic di tangannya itu ke meja.

"Uhuk! Uhuk!"

"Tuan tidak apa-apa?"

Dibelakangnya, Jerella melihat Victor menggeleng sebelum dia kembali meneguk air. Ada rasa gatal yang dirasakan pria itu, karena itu dia sangat tidak nyaman dengan kerongkongannya. Namun setelah membaik, ia langsung menaruh gelas itu kembali ke tempatnya dan berbalik badan menghadap Jerella yang belum beralih pijakan.

"Tuan masih ingin bernyanyi?"

"Kamu sendiri?"

Jerella menggeleng.

"Ya sudah, kita sudahi saja. Kumatikan dulu musiknya."

Victor berjalan lebih dulu ke tempat semula, disusul Jerella yang dia lewati sebelumnya. Pria itu sudah akan meraih remot namun kaki Jerella tanpa diduga tersandung ujung permadani hingga dia nyaris terhuyung mengenai lantai andai pria itu tidak sigap menangkapnya.

Rasanya tidak bisa dikatakan poor Victor ataupun poor Jerella, ketika keseimbangan hilang hingga membuat mereka jatuh terlentang ke sofa di mana posisinya Victor tertindih badan gadis itu.

Tatapan mereka saling beradu dengan dalam. Tangan Victor yang semula hanya di sisi pinggang pun perlahan melingkar penuh ke pinggang gadis itu, dan berubah menjadi pelukan yang erat.

Untung saja tidak ada siapapun di kamar itu, sehingga mesem-mesem di wajahnya tidak ada yang mengetahui saat tangannya memeluk kian erat guling yang dia peluk. Yes, it was just a dream. Benar-benar hanya bunga tidur milik Victor.

Jerella ; endWhere stories live. Discover now