"Vanessa, kamu harus terbiasa untuk hal itu. Kamu bakal jadi seorang ibu persit, hal kayak gini udah hal wajar. Kabar baik atau kabar buruk udah hal yang harus kamu pahami, nggak semuanya harus kamu paksa. Mas kamu itu milik Negara, Vanessa. Mayor Teddy itu tentara pasukan elit. Kalau kamu memang berjodoh dengannya dan nikah sama Mayor Teddy, kamu bukan hal utama dihidupnya. Itu sudah konsekuensi dan kamu harus menerima itu." Kini Nenek sedikit tegas kepadanya.

"Kalau kamu rasanya nggak kuat dan tidak mengerti pekerjaan Mayor Teddy, Nenek nggak akan ngasih restu ke kamu, Vanessa. Nenek sering lihat kamu nangis setiap saat dan menuntut Mayor Teddy memberi kamu kabar. Nggak bisa, Vanessa. Keegoisan kamu itu tidak akan dikasihani oleh Negara, itu sudah tuntutan abdi negara dan kamu sebagai calon pendampingnya harus mengalah. Kamu siap tidak? Kalau tidak, mundur. Kamu tidak bisa menuntut lebih kepada seorang tentara, Vanessa. Hidupnya itu untuk negara, bukan untuk kamu."

"Nenek nggak masalah kalian berdua sama sama sakit sekarang setelah berpisah daripada kamu hidup dengannya, tapi kamu nya tersiksa dan nggak bahagia." Jelas Nenek.

"Ibu, jangan ngomong gitu." Bunda mencegah Ibu untuk tidak semakin menyudutkan cucunya.

"Mbak Yanti.. anak kamu ini setiap hari menangis terus setelah Mayor Teddy pendidikan. Sudah Ibu beritahu berkali kali tapi anak kamu itu belum bisa menerima resiko dan pekerjaan Mas-nya sendiri. Bagaimana kalau Mayor Teddy justru ditarik lagi jadi ajudan Bapak kamu? Makin tidak ada waktu dan pasti pulang juga akan semakin jarang. Anak kamu bisa menerima nggak? Ibu saja dulu menikah dengan Bapak kamu juga setiap hari hidup dengan kegelisahan dan rasa yang was-was. Ditinggal selalu ke medan perang yang Ibu saja tidak sanggup membayangkannya, ditinggal dinas sana sini yang dimana Ibu tidak bisa menuntut dan marah kepada Bapak kamu karena posisinya memang harus mengerti dan mengalah." Sahut Ibu dengan suara yang cukup menyesakkan.

Mungkin bagi sebagian orang, Ibu tidak terlalu ingin ikut campur dengan hubungan cucunya itu bersama mantan ajudannya Bapak. Tapi, tanpa sepengatahuan mereka, Ibu dan Bapak pernah bertengkar hebat hanya karena Bapak semudah itu memberi restu dan izin tanpa memikirkan hal lain, Ibu justru begitu keras dulu menentangnya karena Ibu tahu sendiri bagaimana rasanya menjadi istri prajurit dan abdi negara.

Walaupun akhirnya diyakini oleh Bapak, Ibu tetap saja belum bisa melepas cucunya itu.

Bagi Ibu, cukup dirinya saja yang mengalami itu karena beliau tahu bagaimana susah payahnya harus mempertahankan dan mengerti pekerjaan Bapak dulu. Ia tidak ingin cucu tersayangnya harus mengalami hal yang serupa juga.

"Punya pasangan seorang prajurit itu punya banyak resiko, Vanessa. Kamu sudah memikirkan itu kan?" Nenek terus menyerbu seluruh isi pikiran cucu perempuannya, sedangkan Vanessa sudah berhenti menangis. Namun, ia hanya diam dengan pikiran kosongnya.

"Ini loh, Mas. Ini yang aku takutin, kalau Vanessa semakin dalam perasaannya, logikanya nggak jalan. Vanessa ini masih labil dan belum paham sama pekerjaan Teddy." Keluh Ibu kepada Bapak yang duduk didepannya.

"Vanessa, kamu sadar nggak kenapa Om dan Bunda kamu nggak ada yang Nenek dukung untuk masuk militer walaupun mereka sangat tertarik sebelum akhirnya terjun ke dunia fashion? Ini Vanessa alasannya, Nenek sudah hidup dengan keluarga militer bertahun tahun. Kakek buyut kamu dan sekarang Kakek kamu. Sedangkan nanti kamu punya calon suami juga seperti itu. Sulit sayang, kalau kamu tidak berbesar hati dan mengerti. Seperti ini jadinya, kamu nangis setiap nggak dikasih kabar, kamu gelisah setiap Mayor Teddy hilang kabar. Ini baru pendidikan loh, Nes. Gimana nanti Mayor Teddy ditugaskan ke daerah konflik? Sanggup?" Nenek terus membalikkan semua keyakinannya, seolah olah Nenek seperti membuatnya harus berpikir berulang lagi.

"Jadi seorang pasangan prajurit itu harus kuat dan tangguh. Nggak bisa dengan hati yang lemah, kayak gini jadinya sayang." Terang Nenek semakin jelas.

"Mbak Titik.. sudah, kasian Vanessa besok hari spesialnya. Jangan terlalu ditekan. Sudah sudah, jangan terlalu dibawa berpikir ya sayang?" Bapak kini memeluk cucu kesayangannya itu.

"I-iya, Nek. Aku salah, emang aku yang belum ngerti dan itu memang sulit." Ucap Vanessa pelan.

"Mayor Teddy baik baik saja, kamu nggak usah terlalu pikirkan. Sekarang fokus dengan acara kamu besok, kamu udah hampir menyelesaikan setengah jalan loh. Masa mau nangis juga? Harus happy, nilai kamu paling tinggi loh, Nes." Ucap Nenek, berusaha menyemangati cucunya lagi.

"Nenek kalo marah serem juga ya." Bisik Ati.

"Gue baru tahu kalau Nenek sempat menentang hubungan Vanessa dengan Pak Teddy." Bisik Habib.

"Kalau dulu diantara kita berempat ada yang tertarik militer, kira kira bakal direstuin nggak ya?" Tanya Bintang penasaran.

"Nggak deh kayaknya." Jawab Ati.

"Tapi kalau gue pikir pikir lagi, seandainya gue diposisi Vanessa. Gue juga bakal kayak gitu, siapa yang rela orang tersayang bisa kapan aja pergi ninggalin kita dan nggak ada ngasih kabar? Vanessa ngelewatin sendirian satu tahun ini udah hebat menurut gue, gue kalo jadi Vanessa udah nyerah sih. Nggak kuat." Sahut Ati kepada kedua kakak kembarnya.

"Sudah mbak, jangan nangis lagi. Makin bengkak matanya." Hibur Bapak.

"Kita tunggu sama sama ya kabar Mayor Teddy? Kamu kalau seperti ini, Kakek bisa berpikir berulang kali untuk menarik Mayor kembali atau tidak." Kata Bapak.

Vanessa menggeleng. "Jangan Kek, kasihan Mas. Mas udah berjuang mati matian disana untuk bisa balik ke Kakek dan ke aku juga. Jangan ya? Kakek harus narik lagi."

"Iya makanya kamu jangan nangis lagi, mbak. Mulai sekarang harus belajar menerima, memang sulit dan Kakek mengerti itu karena Kakek dan Nenek kamu juga dulu seperti ini hingga Nenek kamu akhirnya sudah terbiasa. Nggak papa, memang butuh waktu yang panjang." Bapak mengelus punggung cucunya itu dengan lembut.

"Udah Nes jangan dilihat terus hp lo, tunggu aja ya?" Kini giliran Ati yang bersuara dan Vanessa mengangguk pelan.

"Besok jam berapa, Kak?" Tanya Bunda.

"Acaranya jam 10, nggak lama sih." Ucap Vanessa pelan.

"Mungkin besok banyak media yang liput karena Kakek ikut hadir disana, jadi kamu harus bahagia besok, Nes. Jangan ada beban pikiran apapun, besok itu kamu harus merayakan kerja keras kamu, disaat teman teman kamu ada yang ngulang, kamu bisa lulus dalam sekali percobaan. Semua orang di keluarga ini, bangga sama kamu. Jadi kamu harus fokus sama diri kamu sendiri. Janji ya?" Sahut Bapak lagi.

"Gue deg degkan loh Nes, masa lo nggak? Apalagi besok lo yang mimpin dihadapan dekan dan seluruh jajaran petinggi. Lo besok harus terlihat bersinar pokoknya!" Ucap Ati dengan semangatnya.

"Kek, Mas pasti pulang kan?" Walaupun semua orang sudah memfokuskan kepada Vanessa, tapi gadis itu tetap memikirkan Mas-nya.

"Iya mbak sayang, kita cukup tunggu saja ya? Mungkin memang ada yang diurusnya. Kakek dan Kasad juga sudah diskusi perihal kepulangan Mas kamu itu, kita juga lagi cari penyebabnya, seperti yang kamu bilang seharusnya Mayor Teddy sudah pulang ke Indonesia. Semoga baik baik saja." Kata Bapak dengan tenang.

Ketika seluruh keluarganya membahasa acaranya besok, Vanessa semakin bertarung dengan pikirannya sendiri. Batinnya terus menerka nerka dari kemungkinan kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Mas, ternyata untuk masuk ke dunia kamu memang semudah itu ya, apalagi urusannya kalau jatuh cinta. Tapi hal terberat dari proses jatuh cinta itu, mengerti dunia kamu bikin aku kesulitan dan berakhir membuat aku cukup kewalahan dan tersiksa. Mas, aku bisa nggak ya? Jatuh cinta ke kamu dan ke pekerjaan kamu yang bikin aku setiap hari takut kehilangan kamu?

Kamu dimana, Mas? Besok datang kan?

He Fell First and She Never Fell?Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora