"Oh, iya. Ibu saya rumahnya di Depok. Dan dia nggak suka sesuatu yang terlalu manis. Kamu juga beliin sesuatu untuk kakak perempuan saya. "

"Baik, Pak."

Suta kemudian meletakkan black card American Express ke atas meja. "Pakai ini."

Laras maju tiga langkah untuk menggapai benda itu dari atas meja, sebelum permisi ke luar dan berbalik.

Ketika mengamati Laras berjalan ke luar, tanpa sengaja tatapan Suta mengarah ke bokong perempuan itu. Kemudian mengumpat.

***

Karena meski ia bisa menyetir, akan tetapi dia tak tahun persisnya rumah ibu bos, Laras memilih untuk pergi di antar Pak Gun yang memang selalu stand by di kantor.

"Takut kalau sewaktu- waktu Pak Suta butuh. Tapi sekarang ini, Pak Suta sudah bisa mandiri, Mbak. Dulu setelah kecelakaan, dia masih harus di bantu ke kamar kecil." Terang sopir bertubuh agak gempal itu.

"Saya kira Pak Suta memang butuh seorang istri, Mbak." Lelaki itu melanjutkan monolognya karena tidak mendapat tanggapan dari Laras yang kini sedang menelaah situasinya.

"Kalau Bu Elida itu?"

"Oh, kakak perempuan Pak Suta? Dia seharusnya juga berkantor di Bintaro. Tapi sekarang ini, Bu Elida baru saja pulang dari Korea. "

"Oh,"

"Dulunya, Pak Suta nggak ikut ngurus Ranjana. Maklum, dia sebetulnya lebih berminat di bidang arsitektur. Sempat kerja di Belanda sama di Inggris sekitar enam tahunan, trus terpaksa pulang ke Jakarta karena Pak Gandhik sakit. Empat tahun lalu, baru Pak Suta mau gantiin Pak Gandhik. Setelah Bapak meninggal, Bu Rosmala, ibunya Pak Suta, milih pindah ke Depok. Ke rumah pertama mereka. "

Hebat. Tanpa banyak bertanya, Laras sudah banyak mendapatkan informasi lengkap tentang atasannya itu.

***

Laras berhenti di depan toko kue bernama Lovestory.cake. Tempatnya berada di deretan ruko pinggir jalan, memungkinkannya untuk langsung masuk tanpa harus berkeliling dulu seperti kalau dia pergi ke mal.

Laras memilih bolu sarang semut dan macarons. Setelah selesai dari toko kue, Pak Gun mengantarkannya untuk mampir ke apartemen milik Elida yang ada di Setiabudi. Tidak jauh dari kantor lamanya.

Laras baru saja mendekati meja concierge untuk menanyakan unit milik Elida Miranti Wiratsana, ketika ia melihat sosok yang familiar. Seorang pria dengan setelah jas Tom Ford warna biru tinta, sedang menempelkan ponselnya ke telinga.

Tubuh Laras seketika membeku. Dia tentu saja sangat mengenali postur dan gestur lelaki yang pernah jadi atasannya itu. Gatra memang tetap menawan, walau usianya telah memasuki kepala empat.

Dengan sigap, Laras menyembunyikan dirinya di balik pohon palem dalam pot, membuat dua orang concierge mengamatinya dengan heran.

Sebentar kemudian, seorang perempuan berusia akhir tiga puluhan muncul. Dalam balutan kemeja Roberto Cavalli warna putih dan cigarette pants warna abu- abu besi yang serasi satu sama lain. Rambutnya digunting model bob dengan bagian depan yang tajam dan panjang, membingkai wajah berdagu amat tirus itu.

Ia mengenakan kacamata dan riasan yang cocok digunakan untuk menghadiri gala premiere.

Matanya mirip dengan milik Suta. Tajam dan dingin. Hanya saja, ada kesan sinis yang menambah kesan judes di wajahnya. "Kamu sekretaris baru Suta?" tembaknya. Dengan tatapan mirip scanner, menyapu penampilan Laras dari atas ke bawah.

"Betul, Bu."

Elida mengangguk. Wajahnya tetap tidak menunjukkan keramahan. "Apa ini?"

"Macarons,"

"Macarons?"  Elida mengernyit jijik. Dikeluarkannya ponsel dari saku kemejanya, dengan gusar ia menempelkan benda itu di telinganya.

"You morons!" Bentaknya, sampai - sampai membuat dua concierge dan Laras tersentak kaget. "Kamu mau bikin saya gendut? Menghina saya kamu. Buat apa kirim penyakit ke tempat saya! Kamu pikir, saya semurah itu, bisa disogok pakai beginian!"

Tanpa menunggu jawaban, perempuan itu langsung memutus sambungan. Ia melempar tatapan tajam ke arah para concierge lalu berkata dengan judes,"Kamu berdua, makan saja itu!" sebelum melenggang pergi. Meninggalkan Laras yang bengong.

***

"Kamu kirim apa buat Elida?"

"Macarons, Pak. "

Laras mendengar suara decakan frustrasi. "Lain kali, jangan memikirkan sesuatu yang murahan buat kakak saya. Saya tahu, kamu mungkin menganggap macarons itu istimewa. Tapi itu bukan selera Elida. Belilah sesuatu yang lebih berkelas!"

Laras sama sekali tak berkutik. Pak Gun menatapnya iba. Suara Suta yang jelas- jelas sedang murka, bisa didengar olehnya juga.

"Kamu beli apa buat ibu saya?"

"Bolu karamel sarang semut. Saya udah coba dan nggak terlalu manis, kok. " Ujar Laras agak takut.

"Hmmmh," hanya itu sahutan Suta.

"Jangan terlalu lama. Saya ada jadwal fisioterapi nanti sore!"

"Baik, Pak. "

****



Miss Dandelion Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz