SATU

4 0 0
                                    

Keheningan ini sungguh menenangkan jiwa. Meskipun hanya bertahan lima belas menit, tetapi hal semacam ini terkadang perlu dilakukan. 'Doa Harapan Pagi' semacam ritual yang dilakukan anak-anak setiap pagi hari untuk mensyukuri nikmat dan hidup, juga memohon kepada Tuhan sebuah permohonan yang mungkin sederhana, bahkan terkesan tidak penting. Tapi, itu tidak sepenuhnya yang menjadi perhatian kegiatan harian ini.

Anak-anak memberikan semacam energi tersendiri ketika memandang hidup bagi orang dewasa. Mereka memandang hidup dengan penuh kekaguman dan ketakjuban. Mereka sangat mudah terpesona, bahkan oleh hal-hal kecil. Ketenangan mereka seolah menular kepada orang dewasa yang melihatnya. Sungguh sesuatu yang menakjubkan. Namun, kenapa anak itu tidak melakukannya?

Bryan Gregory, siswa kelas X Kohort V SMA Pontifex Maximus. Dia lari dari kegiatan harian itu, seolah merasa tidak bersalah, dia malah pergi ke atap untuk melihat langit sembari memakan sarapannya.

"YA AMPUN! Kenapa kau malah duduk disini?" tanya Pak Veldez.

"Wah, ini tidak bagus," pikir Pak Veldez.

Bryan tampak kesal dengan kehadiran Pak Veldez. Dia menyelesaikan sepotong sandwich berisi tuna dilumuri mayones didalamnya. "Memangnya kenapa?

Pak Veldez menggambarkan Bryan seperti pangeran yang baru saja kembali dari Tartarus. Bryan tampak 'spektakuler'. Rambutnya acak- acakan dan penampilannya berantakan, juga tali sepatunya tidak diikat. Menurut Pak Veldez, tali sepatu merupakan hal yang penting dalam penampilan. Dia adalah satu-satunya guru yang sering memarahi siswanya karena lupa mengikat tali sepatu. Kulit putih pucat dan mata hitam redup Bryan mengingatkannya akan seseorang. Hal itu membuat Pak Veldez tersenyum karenanya.

"Kenapa? Kau malah tanya kenapa? Ini bukan saatnya makan pagi." Pak Veldez duduk di sebelah Bryan. "Kenapa kau kabur dari kegiatan Doa Harapan Pagi?"

"Memangnya apa pentingnya kegiatan membosankan itu? Apa pentingnya sebuah doa? Bahkan tanpa doa-pun, segala yang akan terjadi tetap terjadi."

"Wah, benar-benar gawat! Ini sudah keterlaluan," pikir Pak Veldez.

Wajah Pak Veldez tampak merah dan pandangan matanya menusuk. "Dengar! Doa memberikan harapan. Suatu cara sederhana untuk memohon sebuah permohonan kepada Tuhan. Kau tidak akan pernah benar-benar berjuang tanpa memiliki harapan."

"Omong kosong" Bryan memalingkan wajahnya. Pak Veldez memperbaiki posisi duduknya dan menghela nafas panjang.

"Jangan pernah meremehkan kekuatan dari harapan! Semua orang memiliki harapan. Banyak orang rela mati demi melindungi harapan mereka, bahkan harapan yang terdengar menyedihkan sekalipun."

"Hah, apa-apaan itu. Memangnya ada kisah seorang anak yang rela mati demi harapan, bahkan harapan yang paling menyedihkan sekalipun."

"lya, ada!" Pak Veldez tampak serius, mata birunya menusuk tajam, bahkan lebih tajam dari pedang perunggu langit. "Mungkin terdengar menyedihkan, tapi harapan itu membuatnya hidup, dan hidup benar-benar sebuah perjuangan,"

Udara mulai mencekam, ditambah lagi keheningan ini mulai menikam Bryan. Sorot mata tajam Pak Veldez seolah bisa membunuh Bryan kapanpun.

"Bisakah Bapak menceritakannya kepada saya? Anu, emm.. Kisah anak itu?" Bryan tampak penasaran dengan kisah tersebut, walaupun udara dan suasana di sekitarnya seolah membunuh dirinya secara perlahan, namun rasa penasarannya lebih besar daripada itu.

"Semua dimulai dari Legenda Bulan Purnama Merah. Konon katanya, Selene, Sang Dewi Bulan akan mengabulkan permohonan apapun saat cahaya terakhir Bulan Purnama Merah di atas Menara Keabadian. Dan itu semua bermula dari seorang anak," kata Pak Veldez.

The Shining Sky of SilenceΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα