39 | Denis dan Andra

263 24 26
                                    

Ini sudah memasuki bulan September. Katanya, bulan ini sudah memasuki bulan penghujan. Nyatanya, yang dirasakan oleh penghuni kota Bandung adalah udara yang mulai terasa lembab serta arah angin yang bertiup lebih cepat. Pun, jika diperhatikan lebih seksama, awan-awan kelabu sering muncul beberapa hari terakhir.

Hari ini, sama seperti kemarin. Pagi tak berembun. Langit sedikit berwarna merah karena matahari sudah mulai menampakkan diri. Aroma dedaunan yang tertiup angin perlahan mulai menggelitik indra penciuman. Denis menggeliat kecil, bergumam tak jelas merasakan hangatnya sinar matahari menerpa kulit wajahnya. Juga beberapa usapan halus dan lembut yang dia rasakan di tangannya.

"Bangun dulu, yuk." Suara tenang itu selalu berhasil membawa Denis dari alam bawah sadar. Namun, alih-alih untuk segera bangkit dari tempat peraduannya, dirinya justru semakin menggenggam erat jemari sosok yang berada di sampingnya.

Sungguh sebuah kenikmatan duniawi yang ia rasakan selama hampir satu tahun ini. Denis seringkali disambut oleh senyuman yang begitu menawan, suara yang begitu lembut serta wajah yang begitu tampan berada di sisinya sama ia membuka mata.

"Masih pusing?" tanya lelaki itu sambil meraba-raba wajah Denis dengan hati-hati. "Demamnya udah turun. Tapi ada yang bikin kamu masih ngerasa gak nyaman gak" Lanjutnya lagi.

Denis bergerak kecil. Perlahan bangkit dari posisi tidurnya agar bisa duduk berhadapan dengan Andra. "Aku udah gak papa kok, Mas. Udah enakan," kata Denis pelan.

Andra tersenyum mendengar penuturan itu. Segera ia menyodorkan satu gelas air putih hangat yang sengaja ia bawa untuk diberikan kepada Denis.

"Minum dulu, ya."

Melihat hal yang paling tidak disukainya, Denis sedikit mengerucutkan bibirnya. Tidak suka akan kebiasaan baru ini setelah ia menikah dengan Andra. Namun, kata suaminya, ini demi kebaikan dan kesehatannya. Maka mau tidak mau Denis menurut saja. Terlebih setelah kejadian bulan lalu. Denis lebih banyak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Andra.

"Gak mau air hangat, Mas." Denis merengek. Siapa tahu Andra kali ini akan sedikit memberikan toleransi.

"Ya udah, kalau begitu hari ini gak ada morning kiss, ya," balas Andra tak mau kalah. "Lagian ini hangatnya juga suam kuku, kok. Ayok diminum."

Mendengar hal tersebut, Denis semakin cemberut. Mana bisa begitu, itu sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi. Tidak adil jika hal penting tersebut terlewatkan. Pada akhirnya, Denis yang kalah dan segera menerima gelas di tangan Andra.

Saat itu, dia baru sadar bahwa di punggung tangannya terdapat plester dan sedikit rasa perih. Matanya menatap Andra penuh tanya, kemudian meneguk satu gelas air hangat itu.

"Ini semalam aku sampai diinfus? Kok gak berasa, Mas?"

Gelas yang airnya sudah tandas itu buru-buru Andra terima dari tangan Denis. "Semalam pas Ibu bilang kamu demam, aku langsung buru-buru pulang. Ternyata kamu udah tidur dan gak sadar Mas pulang juga. Pas udah makin malem ternyata demamnya makin tinggi."

"Maafin aku ya, Mas. Padahal udah diwanti-wanti sama kamu jangan sampe kecapean. Tapi akunya keras kepala malah mau ikutan arisan di rumah Ibu."

"Loh? Kok jadi minta maaf? Kan kita pergi ke sana juga atas dasar diskusi kita. Jadi, bukan salah siapa-siapa, kok." Andra segera membantah.

"Jangan cemberut, ah. Istri Mas malah makin cantik kalau ngambek begini tuh." Andra mencoba menggoda Denis.

"Gombal. Dokter Andra gombal." Denis menyibak selimut, lalu mengikat rambutnya yang tergerai.

"Mas hari ini ke rumah sakit?"

Andra menggeleng. "Enggak," katanya singkat.

"Loh? Bukannya hari ini ada jadwal visit pagi ya?" Mata Denis melebar lucu. Terkejut mendengar ucapan Andra.

Life is Beautiful✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang