Chapter 5 - Sebuah Pesan

Start from the beginning
                                    

"Oh itu, dia sudah lama dipecat. Satu tahun yang lalu."

"Oh begitu. Bapak tahu alamat tempat tinggalnya sekarang, Pak?"

"Saya nggak tahu, sih. Tapi denger-denger dia udah minggat." Bapak penjaga itu meraih ponselnya yang berdering. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Mas?"

"Sudah, Pak. Terima kasih, ya. Mari." Saka menunduk untuk memberi salam, ia berbalik ke belakang, ternyata Anaya sudah masuk mobil terlebih dahulu.

Setelah masuk ke dalam mobil, Saka hanya melirik Anaya. Laki-laki itu bisa merasakan diamnya Anaya. Saka merasa suasana perasaan perempuan itu bukan menjadi urusannya. Jadi, Saka hanya diam saja sampai mereka tiba di tujuan terakhir mereka, yaitu rumah orang tua Bu Arianti.

Rumahnya tidak besar. Dari lampu-lampu yang menyala, seperti ada harapan jika rumah itu masih ada pemiliknya. "Sepertinya ada harapan, Dok," ucap Anaya.

Mereka mendekati teras rumah. Mengetuk pintu beberapa kali. Hingga, seseorang dari dalam membuka pintu. "Iya, sedang mencari siapa?"

"Permisi, Nek." Saka tersenyum. "Benar ini alamat wali dari Almarhumah Bu Arianti?"

Anaya melirik Saka yang berbicara dengan formal. Namun, ia lebih memperhatikan raut wajah nenek yang ada di depannya. Nenek tampak terkejut dan menjadi gugup. "Kalian siapa?"

Anaya cepat menyahut. "Wah, ternyata Nenek memang benar-benar cantik seperti yang diceritakan Bu Arianti."

"Kalian berkomunikasi dengan Anti?"

"Iya, Nek. Ada yang perlu kami sampaikan." Anaya kembali menjawab.

"Masuklah!" Nenek mempersilakan Saka dan Anaya masuk. Mereka duduk di ruang tamu. Kursinya terbuat dari kayu yang memiliki bau khas. Nenek masuk ke dalam. Anaya dan Saka sibuk mengamati rumah sederhana itu.

"Apa yang akan kamu sampaikan?" bisik Saka.

"Pesan Bu Arianti."

"Memangnya kamu pernah bicara?"

"Belum."

"Kamu gila?" Saka melotot. "Bagaimana kalau semakin curiga?"

"Tenang saja, Dok."

"Anaya, dengar—" Saka menghela napasnya ketika nenek keluar sambil membawa dua gelas minuman. Meletakkan minumannya di depan Anaya dan Saka.

"Terima kasih, Nek." Anaya tersenyum.

"Jadi, ada apa sebenarnya?"

"Bu Arianti sudah sembuh, Nek. Lama sekali. Bu Arianti begitu merindukan Nenek. Tapi tidak pernah ada kesempatan untuk bertemu, ya? Bu Arianti terlalu malu untuk bertatap muka." Anaya mulai berbicara. "Bu Arianti memang memiliki kesalahan yang tidak pernah bisa termaafkan, apa pun alasannya, ia tetap bersalah. Tetapi, orang yang bersalah juga bisa mendapatkan pengampunan, bukan? Bu Arianti tidak pernah merasakan ampunan itu. Bu Arianti menderita setelah kejadian menyakitkan dulu."

"Kamu siapa?" Nenek bertanya dengan suara bergetar, menahan tangisnya.

Anaya mendekati Nenek. Ia duduk berlutut di depan Nenek. Ia genggam tangannya dengan tulus. "Nenek tidak perlu takut. Saya bisa berkomunikasi dengan Bu Arianti."

Nenek menangis.

"Nek, selama di rumah sakit jiwa satu tahun terakhir, Bu Arianti sudah merasakan dirinya lebih baik. Kejiwaannya sudah membaik. Tapi, entah kenapa dia masih terkurung di sana. Bu Arianti menerima semuanya. Ia menganggap apa yang dialaminya adalah hukuman dari Tuhan."

"Bu Arianti selalu bertanya-tanya, jika Tuhan sudah memaafkannya, menyembuhkannya, kenapa orang-orang begitu jahat mengurungnya di sana?" Anaya meneteskan air matanya.

SILAMOn viuen les histories. Descobreix ara