02

31 2 0
                                    

Motor vespa kuning menjadi sarana menuju pasar hari ini. Sebetulnya, Adipati berniat meminjam mobil merah milik sang kakak untuk pergi ke pasar. Tapi, kemarin malam, tepat di depan kamar kosan sang kakak, "Ke pasar bisa pake mobil, cuman mikir aja, mau parkir di mana? Ini bukan mall lho, dek. Pake motor aja,"

"Tapi, Mas. Bawaannya, kan, banyak. Susah bawanya kalau pake motor,"

"Pake motor,"

Jarak pasar dengan kosan tak begitu jauh. Hanya perlu waktu tak sampai 10 menit. Di sepanjang jalan, Adipati sibuk merekam dengan ponselnya sembari mendengar ucapan Rajendra.

"Nah, guys! Jadi, kita udah sampe di pasar. Banyak motor, ya," jelas Adipati pada ponselnya yang hanya bisa membuat Rajendra tersenyum pasrah.

"Simpen hpnya. Di pasar jangan nge-vlog, ntar ilang hp lu," ucap Rajendra. Adipati tersenyum lebar sampai terlihat deret giginya yang putih, bersih, rapi terawat. Dimatikannya ponsel itu.

Berbeda dengan suasana pasar yang begitu ramai. Kosan milik Pak Haji ini terbilang sepi. Hanya ada Maulana yang masih duduk di kursi makan sambil menelepon sang ibu untuk menanyakan beberapa resep masakan khas hari raya. Di parkiran sendiri, ada Wira yang tengah membersihkan mobil merahnya itu dan juga Adinata yang tengah memeriksa motor Scoopy birunya. Dan selebihnya berada di kamar masing-masing.

"Mas Wira," panggil Adinata. Yang dipanggil hanya berdeham pelan.

"Mas, punya kanebo, gak?"

"Punya,"

"Boleh pinjam?" Wira meraih lap berwarna jingga dari atas mobilnya. Lalu, disodorkannya lap itu pada Adinata yang sedang jongkok di samping motornya.

"Makasih, Mas."

Lalu, obrolan pun terhenti. Keduanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Adinata yang beralih sibuk mengelap motor kesayangannya itu dan Wira yang kini sedang membereskan peralatan di mobilnya. Tak lama, Wira menutup pintu bagasi mobilnya yang berhasil membuat suara gaduh. Laki-laki berpostur tubuh tinggi kurus dengan kaos putih kebesaran, celana cargo pendek berwarna zaitun, dan sendal berwarna putih jingga. Tak lupa juga kacamata berbingkai tipis. Itulah tampilan Wira sehari-hari. Laki-laki yang akhir-akhir ini tengah sibuk dengan tugas-tugas pemograman itu kini menghampiri Adinata, penghuni termuda di kosan ini.

"Gak mudik, Din?" Adinata menggeleng lalu bangkit. Tubuh laki-laki itu tak setinggi Wira, dengan kaos oblong hitam yang sudah berlubang di beberapa titik di bagian lehernya dan celana pendek yang biasa di obral dengan harga 100 ribu dapat 3. Sedikit berbanding terbalik dengan penampilan Wira.

"Gak, Mas. Ongkosnya kemarin kepake buat ngebenerin motor," jawab Adinata seraya menatap motor birunya itu. Hening. Obrolan terhenti sampai di situ. Wira memang tak pandai dalam mencairkan suasana. Ia sangat jauh berbeda dengan adiknya yang mampu dengan mudah mencairkan suasana. Selain tak pandai mencari topik obrolan, dia juga tidak terlalu dekat dengan anak-anak kosan, salah satunya dengan Adinata. Jarang sekali interaksi di antara keduanya. 

"Mas Wira sendiri ga pulang?" tanya Adinata memecah keheningan. Wira menoleh, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, "Ngga,"

"Kenapa?"

Wira terdiam. Benar, kenapa ia tidak pulang? Walaupun sang ibu sibuk dengan pekerjaannya sebagai reporter yang tahun ini mendapat giliran meliput berita seputar mudik, tapi, di rumahnya masih ada sang ayah. Sejujurnya, Wira sendiri tak masalah untuk pulang. Dia senang-senang saja berinteraksi dengan sanak saudaranya di Yogya sana. Tapi, berbeda dengan Adipati yang enggan berinteraksi dengan mereka semua. Ada satu dan banyak hal yang menjadi alasannya namun Wira tak bisa memberitahunya.

Semua Dirayakan | Seventeen FriendshipWhere stories live. Discover now