[2]

51 4 0
                                    

"Selesai juga!" seru Bonde senang, menepuk-nepuk tangannya ke sehelai lap merah bermotif kotak-kotak. Ceret kosong dan semua peralatan masak yang digunakan hari ini sudah di lap kering dan tertata rapi. Piring-piring, gelas, dan botol-botol bumbu juga telah tersimpan dengan aman. Jadi, tidak lagi ada yang berantakan.

Saat itu waktu menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas. Sebentar lagi, tengah malam, dan ada satu tugas lagi yang hampir terlupakan. Setelah memastikan tiada sisa makanan maupun sampah yang tertinggal, dengan cekatan Bonde mengikat karung dengan kencang, menyeretnya keluar lewat pintu belakang dan menghempaskannya ke dalam tong sampah.

Kali ini hujan sudah mereda. Yang tersisa hanyalah angin lembab, genangan-genangan air di rumput serta aroma dedaunan basah. Samar-samar terdengar pula suara katak dan hewan nokturnal lain yang saling bersahutan. Eh, bukan. Sedang menggosipkan cuaca, sepertinya.

"Huf! Dingin!"

Tanpa berlama-lama, ia kembali masuk ke dapur. Enggan membeku diluar. Setelah memastikan pintu belakang telah terkunci, Bonde menanggalkan apron dan mencuci tangannya, lalu bergegas mematikan perapian di ruang tengah. Setelahnya, ia menaiki tangga. Minggu depan, genap tiga bulan dan lima belas hari ia berada di rumah ini. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, membuatnya merasa bersyukur. Tidak ada lagi rasa takut maupun kekhawatiran, serta berbagai bentuk pelecehan yang dialaminya sewaktu dalam kehidupan lama. Dirinya kini adalah James Bond yang bebas, yang terlahir kembali melalui ikatan dengan para crime lords, dengan ketiga Moriarty bersaudara.

"Huh?"

Bonde baru saja tiba di lantas atas; hendak berjalan menuju koridor yang mengarah ke kamarnya. Akan tetapi, baru saja ia hendak melangkah, seberkas cahaya mengalihkan perhatiannya. Cahaya itu tampak kontras dengan suasana lantai atas yang sedikit gelap, jika dibandingkan dengan lantai bawah karena tak banyak lampu yang dinyalakan. Jendela-jendela sepanjang koridor tertutup tirai-tirai beludru yang berat, dan semua pintu juga tertutup rapat. Dan di bagian ujung sanalah sebuah pintu setengah terbuka—darimana cahaya itu bersumber.

'Aneh sekali, seingatku aku telah menutup pintunya setelah mengantarkan air panas,' pikir Bonde terheran-heran.'Haruskah aku memeriksanya ke dalam?'

Pemuda bersurai pirang itu sudah mengantuk. Ia bisa saja melanjutkan masuk ke dalam kamar tidurnya yang dihimpit ruang perpustakaan dan kamar Tuan Renfield. Namun, entah mengapa, cahaya di belakang sana terus membayang-bayang; seakan memanggil Bonde untuk berbalik badan dan mendekat laksana panggilan cahaya ilahi.

'Apa ini?' katanya pada diri sendiri. 'Ini sudah terlalu malam. Apa yang akan Will katakan jika melihatku masuk ke kamarnya? Konyol sekali. Tapi, mana mungkin orang semacam dia membiarkan pintu kamarnya terbuka? Duh, perasaanku... kok jadi tak enak ya?.'

Meski sudah familier, Bonde tetap tahu bahwa tidak pantas untuk menganggu istirahat seseorang yang sudah berada di dalam kamarnya. Akan tetapi, seperti ada suatu dorongan kuat yang memberatkan langkah—padahal kamarnya tinggal beberapa meter lagi.

Akhirnya, dengan perasaan ganjil sekaligus penasaran, Bonde berputar arah. Kakinya melangkah dengan sangat senyap di sepanjang koridor. Suasana yang tak kalah hening juga memompa darahnya untuk berdesir lebih cepat, hingga ia tiba di depan cahaya itu.

Di depan kamar sang profesor matematika.

"Will?" bisiknya pelan sembari mengetuk pintu, mengantisipasi jika si penghuni kamar akan menyahut 'Ya, ada apa kau kemari?' lalu menampilkan wajah risih di atas ranjangnya. Akan tetapi, hanya keheningan semu-lah yang Bonde dapatkan.

Dengan satu dorongan, pintu dibuka lebih lebar—untuk mendapati ranjang seukuran king size tersebut kosong. Selimut, bantal dan gulingnya masih tampak rapi, seakan tidak ada siapa-siapa yang menghuni kamar ini. Dengan sedikit keberanian Bonde melangkah ke dalam, melihat kiri-kanan dengan waspada jika-jika saja empunya ada di sekitar.

"Will?" bisiknya lagi. Dan jujur, itu baru pertama kalinya Bonde memasuki kamar tidur William.

Ruangannya lebih luas dibandingkan miliknya, atau milik yang lain, dengan beberapa jendela tinggi yang juga bertirai beludru. Di langit-langit tergantung sebuah lampu kristal yang terang benderang, sumber cahaya yang menyinari hampir seluruh sudut ruangan. Di saat yang bersamaan itulah samar-samar hidungnya menangkap aroma wangi sabun, juga lilin rempah.

Dengan penuh kecurigaan Bonde mengalihkan pandangnya ke pintu lain di dalam kamar ini, di dekat sebuah lemari kayu klasik yang berukiran rumit. Tentu saja, lemari mewah itu diimpor dari Jepara, Hindia Belanda. "Will," serunya pelan. "Kau di dalam?"

Hening.

"William?" panggilnya lagi.

Hanya suara air yang menyahut.

Tragedi Kamar Mandi | 𝓑𝓸𝓷𝓭𝓵𝓲𝓪𝓶Where stories live. Discover now