Prolog

33 3 2
                                    

Aroma tanah yang terkena air hujan membuat siapa pun merasa nyaman ketika menghirupnya. Aromanya yang menenangkan, telah menjadi candu bagi para insan. Tidak hanya tanah yang basah tersiram air yang dimuntahkan sang bumi, tetapi objek lainnya juga terkena imbasnya. Termasuk jalan raya yang selalu lengang saat malam hari, terdapat genangan air di beberapa titik jalan yang membuat para pengendara harus berhati-hati ketika melewatinya.

Suara deru sebuah motor berkecepatan tinggi yang membelah jalan raya, telah memecah keheningan malam yang mencekam ini. Sang pengendara seolah tak peduli dengan peringatan bahwa para pengendara harus berhati-hati ketika melewati jalan raya yang licin ini. Terdapat beberapa genangan air yang cukup luas diterobosnya dengan kencang, hingga percikan airnya menyebar ke sisi kanan dan kiri motor yang di kendarainya. Tapi nyatanya sang pengendara benar-benar tidak peduli, dia terus melajukan motornya kencang dan meraung seperti meluapkan emosinya yang telah sudah dipendamnya sejak lama. Beruntung jalanan benar-benar sepi, kalau tidak, ia akan ditegur pengendara lain karena mengendarai motor secara ugal-ugalan.

"BANGSAT! BANGSAAAT!" umpatnya tak karuan.

Dia memukul setang motornya berkali-kali dengan kuat, lalu menunduk dengan frustrasi. Air mata yang tercampur dengan rintik hujan telan membasahi wajahnya yang pucat. Tubuhnya telah basah tersiram air hujan sebelum melintasi jalan raya ini, yang berarti tubuh sang pengendara telah berperang dengan hawa dingin sedari tadi. Tapi dia seolah-olah tidak peduli dengan hal itu, yang di pikirannya saat ini adalah kata-kata yang merendahkan dirinya terlontar dari seseorang yang berharga baginya.

"Dasar enggak guna!"

"Kamu tuh perempuan atau laki-laki, sih, sebenernya."

"Apa kita perlu ke psikolog buat ngeliat kelainan jiwa kamu itu?"

"Pantesan enggak ada yang mau pacaran sama kamu."

"Malu mamah punya anak kayak kamu."

"Pantesan rejekinya enggak lancar, nurut sama mamah aja susah!"

"Saya enggak sudi punya anak kayak kamu! Mending mat–"

"Argh! Cukup! Gua tau gua enggak guna ..." monolognya dengan penuh amarah terpendam.

Padahal itu adalah sebuah hal yang sepele, ia hanya berpenampilan senyamannya ia saja. Tapi ternyata sangat salah di mata mamahnya. Bukan hanya soal penampilannya, tetapi banyak hal yang ia lakukan yang selalu terlihat salah di mata sang ibu. Mempunyai orang tua yang masih berpikiran kolot di zaman yang sudah modern seperti ini, membuatnya harus selalu mengelus dadanya sabar tanpa membantah pada mamahnya sama sekali.

Tapi tidak untuk kali ini, sebuah impiannya untuk memasuki program studi kuliah yang diimpikannya sejak dulu telah ditolak mentah-mentah oleh mamahnya. Walaupun sudah mendapat dukungan dari sang ayah, tapi tetap saja ia harus izin juga dari mamahnya untuk pergi merapah di kota yang berbeda. Bisa saja dia membujuknya dengan terus-menerus, tapi sudah terlanjur merembet ke mana-mana dan membuatnya tidak bisa bersikap sabar lagi.

Di tengah tindakan kesalnya serta memikirkan kacaunya rencana yang sudah ia tata sejak dulu, sang pengendara tiba-tiba tersadar ketika melihat siluet seekor hewan kecil berkaki empat berlari menyeberangi jalan raya. Tangan kiri yang tadinya ia pakai untuk memukul setang motor, telah kembali ke setang sebelah kiri. Dengan refleks ia menarik rem dengan kuat, melupakan fakta bahwa sebelumnya ia mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Dan ya ... motornya tergelincir karena tidak bisa berhenti dengan stabil di jalanan yang licin seperti ini, sehingga membuat motornya terseret dan sang pengendara terpental hingga terbentur sisi pagar jalan.

Cairan merah pekat mengalir keluar dari hidung dan mulutnya, bahkan beberapa luka kecil dan dalam telah menghiasi tangan dan anggota tubuh lainnya. Beruntung ia memakai helm, jadi mengurangi risiko yang lebih besar dari kepalanya yang telah menjadi sasaran utama benturan.

Suara deru motor sudah tidak terdengar lagi, menyisakan keheningan di malam yang semakin larut dan menyesakkan. Suasana yang membuat sang pengendara semakin menangis sakit. Dia berpikir, bahwa semesta benar-benar tidak pernah mendukungnya untuk menjalani rencana hidupnya yang selalu ia tata dengan baik, serta mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.

Dia sudah lelah, kesadarannya mulai menurun. "M-maaf ..." lirihnya yang entah tertuju untuk siapa. Mungkin kata 'maaf' itu tertuju untuk orang-orang terdekatnya, mamahnya, atau dirinya sendiri?

Entahlah, yang jelas ... apakah ada orang yang bisa menolong sang pengendara yang tergeletak miris di sisi jalan raya yang sepi ini?

Di tengah kesadarannya yang semakin menipis, sang pengendara melihat siluet seseorang yang mendekatinya. Tidak terlihat jelas wajah itu, dia tidak bisa membedakan yang nyata ataupun ilusi semata di tengah kesadarannya yang sudah mulai terkikis. Perlahan mata itu tertutup, tetapi telinganya masih sedikit menangkap kalimat dari seseorang yang ia anggap hanya ilusi itu, sebelum kesadarannya benar-benar habis.

"Berbahagialah, Terra Zareen."















Nitip

Gimana? penasaran?
Yaudah tunggu wkwk

PetrikorOnde as histórias ganham vida. Descobre agora