Five

722 101 11
                                    

Dengan gaya angkuh, Dayana turun dari Audi R8 milik Stefan, yang berhenti di pelataran sebuah pabrik.

Bangunannya tergolong baru, dengan bentuk menyerupai huruf U, dan halamannya cukup luas. Dayana melenggang ke lobi yang sepi. Seorang pria tinggi, bertubuh gempal, dan berkulit cukup bersih berseragam satpam berlari mendekat. "Maaf, ada keperluan apa?"

Daya melengos. "Saya mau cari Pak Eka,"

"Pak Eka yang direktur operasional di pabrik ini?"

Daya memutar bola matanya. Ia mengangkat kacamata Dior dari wajahnya, mendorongnya hingga ke puncak kepala. "Memang ada berapa Eka di sini?" dia melirik satpam itu dengan sorot meremehkan. " Saya nggak punya waktu basa- basi sama kamu!"

Daya segera meneruskan langkahnya. Entah siapa yang akan ditemuinya di dalam. Sementara Jesse dan Stefan menunggu di mobil.

Pagi ini Daya harus beramah tamah pada Arina, sekretaris ayahnya. Dari gadis yang hanya lebih tua tiga tahun darinya itu, Daya tahu bahwa pria yang dimaksud bernama Ekadanta Wrajapani. "Kamu yakin, namanya itu?" Daya menatap skeptis.

Berbeda dari sekretaris di Chronicle Building yang lainnya, Arina memang tergolong tegas. Pakaiannya rapi dan sama sekali tidak mengundang. Tak ubahnya tokoh utama perempuan  dalam serial Betty La FEA . Tertutup dari leher sampai lutut. Kacamata setebal  pantat botol kecap. Cekatan, praktis dan lebih angker ketimbang para bos.

"Rekanan  James yang punya pabrik paku cuma itu. Yang namanya Handry sudah punya istri. Satunya lajang, satunya lagi masih jadi misteri!" ujar Arina tegas.

Daya menanggapinya dengan memicingkan mata. "Rin, " ujarnya, "sebaiknya elo mempertimbangkan karir sebagai Google assistant. Udah cocok banget tuh. "

Masih dengan menyajikan muka datarnya, Arina berujar, "Kamu mau, saya bilangin ke James?"

Dayana langsung mundur. "Bercanda, Rin." Katanya, sambil senyum- senyum. "Please, ya. Jangan bilangin ke Daddy! Pleeeaaaaasseeee..."

Dan Arin hanya menatapnya datar tanpa ekspresi.

***

Pria itu mengenakan kemeja warna biru gonjreng dan celana pantalon hitam. Rupanya, dia memang pria yang sama dengan yang mengurusi mobilnya tempo hari.

Dalam balutan little black dress, menyandang Hermes Kelly serta Giuseppe Zanotti yang membalut kedua kaki jenjangnya, Daya mendongakkan dagunya dengan angkuh. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tinggi gadis itu hanya mencapai 168 sentimeter. Dengan sepatu  berhak 15 sentimeter saja, tingginya belum setara dengan Eka.

"Ada apa?" Ujar Eka, acuh tak acuh.

Mata hijau itu mengawasi sosok di hadapannya dengan saksama. Wajah Eka tidak jelek, memang. Bahkan terkesan sangat jantan. Meski kulitnya tidak seputih Stefan.

Rambut- rambut halus tumbuh di sekitar rahangnya yang lonjong. Matanya tajam, mirip mata gangster - gangster dalam film Jepang itu menyorot ke arah Daya. "Nggak." Daya menggeleng, sebelum membuang muka ke arah lain. Pura- puranya, ia tertarik pada tombak yang menjadi hiasan di dinding lobi berwarna tidak menarik itu.

Sepasang alis lebat yang menaungi mata tajam itu berkerut di tengah- tengah pangkal hidungnya yang mancung. Sementara kedua tangannya berada di dalam saku celananya. "Lalu kenapa kamu bisa sampai ke sini?"

"Gue cuma mau ngomong..." Ujarnya dengan mata disipitkan. Hal itu bertujuan agar tatapannya terkesan meremehkan dan nggak butuh- butuh amat dengan lawan bicaranya saat itu.

Eka hanya diam. Kalau gadis ini bukan anak dari James, pasti dia sudah mendorongnya sampai tercebur ke dalam kali yang warna airnya hijau di depan bangunan pabrik ini. Dia ingin tahu, bagaimana jika kulit putihnya yang bercahaya itu sampai terkena air comberan? Barangkali, gadis ini akan menjerit- jerit mirip orang gila. Lalu menelepon ayahnya, dan besok pagi, Eka akan berakhir menjadi potongan dadu.

Princess MarriageWhere stories live. Discover now