01

20 2 0
                                    

Galaksi Issa Bumantara

•••

Bangunan indah bernuansa garden sering banyak di kunjungi oleh banyak orang karena keindahan dan cita rasanya. Ini merupakan salah satu cafe bernuansa sejuk karena penuh dengan pepohonan dan tanaman hijau dihiasi dengan beberapa bunga sebagai pelengkap lalu tidak lupa pemandangan yang indah disekitarnya. Seorang pria melangkahkan tungkainya menuju meja yang sudah sesuai.

"Selamat menikmati." Setelah pria itu menaruh beberapa pesanan ia kembali melangkah pergi.

Menaruh kembali nampan dan melepaskan celemek lalu ia menuju loker yang tersedia di sana mengambil pakaiannya dan menggantinya.

"Anta." Laki-laki yang dipanggil pun menoleh ternyata Vivi, rekan kerjanya. Vivi juga salah satu pekerja di cafe ini dia lebih tua tiga tahun dari Anta, biasanya Anta akan memanggil kak Vivi.

"Kau akan pulang?"

Anta mengangguk, lagi pula jam kerjanya sudah selesai ia kedapatan masuk pagi dan bekerja hingga menjelang malam. Sekarang menunjukkan pukul 6 sore berarti jam kerjanya sudah selesai.

"Ini bawalah, kau belum makan bukan?" Rekan kerjanya menyodorkan paper bag berisi makanan.

"Tidak perlu kak," tolak Anta dengan sopan.

"Selalu begitu, ambillah jangan pernah kau sungkan dengan ku." Vivi mengambil tangan Anta dan memberikan paper bag tersebut.

Anta menerimanya dan tersenyum tipis. Jangan tanya kenapa Anta selalu enggan menerimanya karena kak Vivi selalu tahu ketika ia belum makan, bahkan pemilik cafe juga sangat baik dengannya. "Terima kasih kak."

"Hati-hati di jalan."

Anta pun berpamitan dan melangkahkan kaki keluar dari cafe. Suasana menjelang malam sangat indah dimana matahari mulai bergerak dibawah cakrawala dan sinarnya mulai memancarkan cahaya berwarna jingga, itu adalah senja. Anta sangat menyukai semuanya tentang benda langit.

Tak terasa Anta sudah sampai tempat yang ia tuju sebelum ia pulang, melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan rumah makan tersebut dan mencari seseorang yang sudah menunggunya. Tak butuh lama Anta melihat orang tersebut lalu menghampiri.

"Ayah."

Netranya bertemu dengan netra tegas milik sang ayah, ia bisa melihat netra itu memancarkan rasa rindu yang sulit diartikan sama halnya dengan dirinya. Entah kapan terakhir kali ia manggil 'ayah'.

"Duduklah."

Anta menduduki dirinya di kursi hingga berhadapan langsung dengan sang ayah. Terakhir kali ia melihat sang ayah masih agak kurus sekarang sudah lebih berisi bahkan bisa di bilang lebih bugar.

"Bagaimana kabar mu, nak?"

"Anta baik. Bagaimana dengan ayah?"

"Seperti yang kau liat, ayah baik."

Rasa canggung menyelimuti kedua ayah anak tersebut. Anta mencoba untuk memulai percakapan saja rasanya lidahnya kelu untuk mulai bicara, ia sendiri menundukkan kepalanya.

"Ayah sangat terkejut melihat mu. Kau sekarang sangat berbeda kau tumbuh jadi pemuda yang gagah dan tampan, Anta. Sepertinya kau sudah kuliah?"

Anta menoleh pada sang ayah. "Ayah pun juga sama terlihat berbeda pas terakhir kita bertemu. Ya, aku kuliah dan sekarang menuju pertengahan semester."

"Boleh aku bertanya. Bagaimana ayah bisa menghubungi ku? Maksud ku beberapa tahun terakhir ini ayah tidak terlihat pernah menghubungi ku lagi."

Naratama, selaku sang ayah menghela napas mendengar pertanyaan Anta. "Ada yang ingin ayah ceritakan."

BumantaraOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz