"Bukannya mau sok misterius, tapi memang --," lanjut Yoga sembari mengerlingkan mata.

Yunan menghela napas. Paham kalau Yoga tidak boleh bicara banyak. "Teman Ayah namanya siapa? Biar kucari dia," kata Yunan mantap. Teman ayahnya, berarti temannya juga. Yunan merasa, menjalin silaturahmi dengan orang-orang yang dekat dengan almarhum Yoga, sudah sepantasnya dilakukan olehnya sebagai anak angkat Yoga.

"Hm ... namanya ... ini agak rumit. Dia punya dua nama. Tapi ... ah. Gimana, ya?" gumam Yoga mengusap dagu.

Dua nama? batin Yunan. Yoga tidak boleh menyebut namanya juga kah? tebak Yunan melihat sikap ragu Yoga.

"Teman Ayah kenapa? Apa yang menimpanya?" tanya Yunan masih berusaha mengorek sebanyak-banyaknya informasi.

"Dia ... ," Yoga terdiam selepas satu kata itu. Bibirnya kemudian bergerak-gerak namun tanpa suara. Kebiasaan Yoga tiap kali akan mengucap sesuatu yang berat.

Yunan terkejut saat melihat ayah angkatnya menitikkan cairan berkilau dari matanya.

"Kenapa, Yah?" tanya Yunan seraya mengusap lembut pipi Yoga. Air mata Yoga berubah menjadi berlian, lalu pecah dan menghilang. Garis tangisan di pipi Yoga mengering dengan cepat, namun air mata yang baru, meluncur lagi.

"Dia ... laki-laki itu sebenarnya orang baik. Tapi --," lanjut Yoga terbata di sela tangisnya.

Sorot mata Yunan menyiratkan iba. Pasti teman Yoga ini, sangat berharga sampai-sampai Yoga menangis sesenggukan seperti ini.

"Meski sampai akhir hidupnya, dia tidak bersyahadat. Meski begitu --"

Yunan mengernyit. Bukan muslim? Yunan membatin. Memang setahunya, teman Yoga berasal dari beragam latar belakang. Mengingat Yoga dulu bersekolah di sekolah umum dan belum pernah mengenyam pendidikan pesantren, madrasah atau sekolah Islam. Ditambah lagi, rekan-rekan bisnis Danadyaksa Corp. banyak juga yang beragama di luar Islam.

"A-Ayah sudah berdo'a. Tapi, siapalah Ayah ini? Ayah hanya orang biasa. Kasihan dia. Kasihan. Ruhnya -- bahkan jasadnya tidak dimakamkan dengan pantas. Padahal --," ucap Yoga dengan napas tersengal.

Yunan menggenggam tangan Yoga. "Ada di mana jasadnya, Yah?" tanya Yunan.

"Jasadnya ... ditimpa batu besar. Batu itu diikat dengan tali ke tubuhnya. Dia ada di dasar perairan keruh."

Ya Allah, pikir Yunan. Apa yang dikerjakan teman Ayahnya ini? Kenapa jasadnya diperlakukan semacam itu?

"Ayah sudah minta pada Syeikh Abdullah, untuk berdo'a kepada Allah, supaya dia diampuni, tapi kata Syeikh --," Yoga bercerita layaknya anak pada bapaknya. Sambil menangis pula.

"Sudahlah, Yoga. Ikhlaskan. Temanmu itu, hingga akhir hayatnya tidak bersyahadat. Biarlah itu menjadi urusan antara dia dan Allah," kata Syeikh Abdullah setelah mendengar rengekan Yoga.

"Tapi Syeikh, dia banyak menolongku semasa hidup. Dan dia juga menolong Yunan! Setidaknya, tolong do'akan agar jasadnya ditemukan orang dan dia dikuburkan dengan layak! Tolonglah, Syeikh!" pinta Yoga memohon. Yoga tahu kedudukannya yang hanya hamba biasa, sangat berbeda dengan gurunya yang jauh lebih dekat pada Allah. Mereka yang dicintai Allah, bahkan hingga matinya pun, masih diizinkan Allah untuk bermanfa'at bagi yang masih hidup.

"Hh ... aku hanya bisa mendo'akan agar jasad temanmu itu dijaga utuh hingga dia ditemukan. Selebihnya, aku akan memohon agar kamu bisa bicara pada Yunan. Minta pada Yunan untuk mendo'akan sisanya," jawab Abdullah.

"Jadi ... begitu. Itu makanya malam ini kita bisa bicara walau hanya dalam mimpi," jelas Yoga mengakhiri ceritanya.

Alis Yunan berkerut. Penasaran, siapa sih, teman ayahnya ini? Sampai dido'akan Syeikh Abdullah agar jasadnya dijaga utuh walau sedang terjebak entah di danau atau kali atau sungai mana.

ANXI EXTENDED 2On viuen les histories. Descobreix ara