BAB VII : Playing With Fire

263 49 10
                                    

"Hasn't he been used to playing with fire, a great player, and imprisoned many women in his charm? He has become a man with strong determination, how could he possibly be swayed by emotions like this?"

"Hasn't he been used to playing with fire, a great player, and imprisoned many women in his charm? He has become a man with strong determination, how could he possibly be swayed by emotions like this?"

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.


"Tidak ingin ketahuan, tapi kau malah menginap di hotel bintang lima. Justru begitu ayahmu bisa menemukanmu dengan mudah."

Pria yang berusia akhir kepala tiga itu hanya bisa mendengus sebal. Bahkan omongannya sama sekali tak mendapat sedikitpun kuriositas milik ponakannya itu. Stein hanya tak habis pikir dengan kelakuan Sunghoon. 

"Bagaimana kakimu?"

"Lebih baik." Sunghoon hanya memutar gelas berisikan whisky dalam genggamannya.

Kebisingan serta musik dengan ketukan cepat dan suara keras di sana tak mampu mengusiknya. Sunghoon hanya merasakan hatinya yang resah semenjak kejadian kemarin. Situasi yang ia akhiri begitu saja tanpa adanya kejelasan. Namun apa yang ia harapkan? Toh gadis itu tak berminat mengenalnya lebih jauh kan? Dan sejak kapan ia seolah berharap lebih?

"Kali ini ayahmu sudah tahu. Cepat atau lambat dia akan memaksamu pulang. Lupakan soal figure skating, kalau kau tidak ingin tertangkap. Lebih baik pergi sekarang."

Stein, pria itu pergi meninggalkan Sunghoon di pub. Ia juga merasa tak berhak mengekang hidup ponakannya itu. Dirinya hanya ingin Sunghoon memilih jalan hidupnya sendiri, walaupun ia tahu bahwa ada tuntutan yang tak bisa ponakannya itu tinggalkan.

Entahlah, sebenarnya Sunghoon tak tahu apa yang benar - benar ia inginkan. Terjun di bisnis fashion dan melanjutkan perusahaan sang ayah? Atau menjadi atlet ice skating sepenuhnya? Ia hanya tau bahwa dirinya menyukai figure skating, tapi Sunghoon tak yakin akan melakukan hal itu dalam sisa hidupnya. Ia hanya ingin kebebasan untuk sekarang. Katakanlah ia belum dewasa. Iyaa, benar. Dirinya hanya ingin mencari kebahagiaan nya. Bahagia yang tak pernah ia rasakan di sisa hidupnya semenjak ibu dan adiknya meninggal.

Drrrtt...

Ponselnya berdering, Sunghoon melirik singkat nomor tanpa nama yang tertera di layar ponselnya. Dan saat ia menyadari siapa pemilik nomor itu, ia menghela napasnya berat. Nomor yang ia hapal di luar kepalanya.

"Bagaimana persiapan lombanya?"

"Dari mana ayah mendapatkan nomorku?" Tanya Sunghoon dengan nada tenang. Sejujurnya ia masih takut menghadapi sang ayah. Beliau memang pribadi yang santai namun juga tegas dan mengintimidasi.

"Mengapa itu penting? Yang lebih penting kapan kau mau pulang?"

"Aku tidak mau melakukan pekerjaan itu." Pekerjaan yang membuat ayah melupakan berharganya waktu kebersamaan mereka sebagai keluarga, sambung Sunghoon dalam hatinya.

"Ini bukan pilihan. Sejak saat kau menyandang nama Girard, kau adalah penerusku. Kau tahu kan kalau ayah sudah tua? Jadi berhenti melarikan diri dan laksanakan kewajibanmu sebagai putra Girard."

Milan, I'm in LoveDove le storie prendono vita. Scoprilo ora