94... Imbas dari kekacauan

679 37 2
                                    

Tersisa Jeremy di rooftop rumah sakit, tatapannya lurus kedepan memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi didepan. Seorang Bram memang tidak akan pernah melepas siapa pun yang telah mengacaukan bisnis ataupun dirinya.

Satu hal yang ada dipikirkan Jeremy saat ini adalah cara menghadapi Bram dan menyelesaikan masalah. Seseorang tiba-tiba menepuk pundak dari arah belakang.

"Tuan,"

Pria itu adalah Armand, sang tangan kanan yang selalu ada dibelakangnya. Jeremy tidak bisa berkata-kata lagi hanya melalui tatapan ia mencurahkan apa yang sedang terjadi.

"Bram tertembak, dan Javas lah yang memulai kekacauan ini." ucap Jeremy dengan suara tercekak.

Rasanya untuk mengungkapkan satu fakta ini membuat lehernya seperti dicekik, lidahnya sangat sulit menjelaskan.

"Kita harus bersiap meninggalkan negara ini."

"Tapi tuan, tangan kanan Bram tidak akan tinggal diam. Mereka pasti sedang merencakan sesuatu."

"Kita pikirkan nanti, yang terpenting kita tinggalkan negara ini lebih dulu."

"Lalu kemana tujuan kita?"

"Amerika."

"Bagaimana dengan tuan Javas?"

"Dia akan ditangani dokter terbaik disana."

"Baik, apa perlu saya siapkan sekarang?"

"Ya, lebih cepat lebih baik."

Jeremy berbalik menatap Armand dengan tatapan sendu, tidak biasanya majikannya seperti ini.

"Ada apa tuan?"

"Terima kasih." Jeremy menepuk kedua bahu Armand dengan seutas senyum ketulusan.

"Kau selalu sigap dengan semua perintah saya."

"Sudah menjadi tugas saya tuan,"

"Oke, hubungi Roni untuk menyiapkan penerbangan esok pagi."

Armand mengangguk seraya pergi, disana tersisa Jeremy seorang diri. Berdiri menatap bangunan bertingkat disekitar rumah sakit. Pikirannya berkecamuk memikirkan berbagai hal. Bagaimana cara menghadapi kekacauan ini apalagi telah melukai client besar JS.

"Huft... Javas.. Javas... Kapan kau akan berubah...." Jeremy berucap dengan kepala menengadah melihat langit luas.

"Stela, lihatlah putra kesayangan mu. Seandainya kau masih ada, Javas pasti tidak akan menjadi seperti ini." 

Jeremy menangis, tangis yang tidak akan didengar siapa pun. Seandainya sang istri masih ada mungkin dia bisa ikut mengatasi ini semua, sebab Javas lebih mendengarkan ibunya dibanding ayahnya.

Setelah hampir setengah jam meratapi masalah seorang diri, Jeremy lalu kembali ke ruang pasca operasi menjenguk dan memastikan Javas masih baik-baik saja karena nyawanya dalam bahaya.

Ketika langkah kaki sampai diruang pasca operasi, Jeremy tidak menemukan sang putra diantara yang lain.

"Suster, pasien atas nama Javas kenapa tidak ada disini!" ucap Jeremy sedikit menaikan intonasi suara.

"Sudah dipindah ke kamar rawat inap, ada dilantai tiga nomor kamar 3."

Tanpa ucapan terima kasih, Jeremy bergegas menuju lantai tiga.

Tok..tok..tok..

Disana sudah ada Rinjani tidur dengan posisi duduk beralasan tangan. Rasanya tidak tega membangunkan gadis yang tidur dengan nyenyak. Jeremy masih berdiri menatap keduanya dengan senyum pilu, entah bagaimana awal mulanya ia menyetujui hubungan Javas dan Rinjani padahal mereka adalah kakak beradik.

Cupid Lonestly 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang