"Tenang saja. Johan sebatang kara. Orang tuanya sudah lama mati. Dia tidak punya istri apalagi anak. Tak ada yang akan mencarinya," kata Theo mendengkus. Masih tersisa kesalnya terhadap Johan. Sok lurus. Begitulah akhir hidup seseorang yang sok berdedikasi pada kebenaran. Menjadi mayat yang terbuang dan tak dikenali orang-orang.

"Kamu sudah memastikan dia tenggelam ke dasar sungai, 'kan?" tanya Edwin.

"Aman. Batu yang diikat di atas badannya, sangat besar. Dia pasti tenggelam," jawab Theo yakin.

Hening beberapa saat. Theo melihat ke luar kaca mobil. Orang-orang miskin ada di sana. Gembel, pengamen, tukang ojek pangkalan, tukang parkir, sopir angkot. Semuanya nampak seperti sampah masyarakat, di mata Theo. Para pecundang. Bukan orang berkelas seperti dirinya.

"Lalu apa rencanamu sekarang?"

Pertanyaan Edwin membuat Theo menoleh dengan senyum sinis.

"Tenang. Aku punya rencana lain."

.

.

Raesha duduk dengan hati-hati di depan televisi. Sebagian anggota keluarga Danadyaksa, masih belum usai sarapannya di meja makan. Sementara bumil yang perutnya sudah buncit besar itu, sudah kelaparan sejak pukul enam. Raesha akhirnya sarapan lebih awal, dan sebagai efeknya, waktu sarapannya berbeda dengan keluarganya.

Televisi dinyalakan oleh Raesha. Berita pagi menampilkan adegan kejar-kejaran dua orang pria bersenjata api. Apaan itu? batin Raesha. Sudah seperti film koboi saja. Memangnya pistol dijual bebas di negara ini?

Raesha melirik ke sebuah toples berisi kue kering choco chip yang nampak menggiurkan di matanya. Ia menggeser tubuhnya susah payah, hendak mengambil toples bening itu, namun tangan yang lain lebih dulu meraih toples itu.

"Nih. Jangan kebanyakan gerak. Kandunganmu sudah besar sekali," kata Yunan sambil menyerahkan toples berisi kue itu pada Raesha.

"Syukran, Kak," ucap Raesha malu. Dia kepergok mencari camilan padahal sudah sarapan. Di masa hamil tuanya, Raesha merasa nafsu makannya makin menggebu-gebu saja. Lihat makanan di televisi saja, langsung auto-ngiler.

"Kata Adli, kamu tadi sarapan duluan, Rae?" tanya Yunan tersenyum ramah.

Pipi Raesha terasa menghangat. Dari kejauhan dia melihat Arisa mencuri pandang ke arah mereka. Tidak apa-apakah ini? Mungkin karena jarak meja makan ke ruang duduk dekat bersebelahan tanpa sekat, jadi Yunan merasa aman-aman saja bercakap-cakap dengan Raesha di sini, tapi --

"Iya, Kak. Aku tadi kelaparan jam enam. Tadinya mau bikin roti bakar sendiri, tapi Prama akhirnya yang buatin. Kakak sudah selesai makannya?" Raesha bertanya balik. Ekor mata Raesha bisa melihat Arisa yang berdiri dari kursi makan dan berjalan menghampiri mereka.

"Kamu sudah periksa ke dokter? Ini 'kan sudah trimester terakhir," kata Yunan lagi.

"Mm ... aku ... belum ke dokter, Kak. Lupa," sahut Raesha gugup.

"Gimana sih kamu? Bayimu mestinya dicek kondisinya! Biar ketahuan kalau ada apa-apa!" Yunan terlihat berusaha mengatur emosinya, namun sulit.

Yang masih makan bersama di meja makan, semua spontan melirik ke arah Raesha dan Yunan di ruang duduk.

"Ada apa?" tanya Arisa ikut nimbrung, sambil membuka cadarnya sebab ia sedang membelakangi ruang makan yang ada Adli dan beberapa pelayan di dekat dapur.

"Raesha belum periksa juga ke dokter," jawab Yunan melipat tangan dengan muka masam.

"He he. Aku lupa, Kak. Nanti aku ke dokter," kata Raesha cengengesan.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now