[bonus] its been a year.

52 3 0
                                    

   Jingga dan merah muda, membentuk gradasi yang begitu indah di atas sana. Sang dewi malam telah menampakkan wajah eloknya yang teriris menjadi sabit, sedang di seberangnya nampak sang raja siang yang hendak tenggelam dan mengucapkan selamat tinggal.

   Surai legamnya seakan hendak melayang seiring dengan angin sepoi yang berhembus. Ia tersenyum dan sesekali memejam kala menikmati indahnya semesta raya yang diciptakan Tuhan ini.

   Namun, apalah artinya.

   Apalah artinya senja yang indah, jika mendung menutupinya?

   Apalah artinya bulan sabit yang menerangi malam, tanpa bintang yang bersamanya?

   Apalah artinya hati yang suci, tanpa belahan jiwanya?

   Sudah setahun semenjak kepergian Aksa. Tiga ratus enam puluh lima hari telah Raya lewati tanpa adanya canda tawa dan keluh kesah dari lelaki yang kerap mengenakan jaket hitam itu.

"Ketika dirimu hancur, dunia tetap berjalan." Sebuah kalimat yang entah Raya dapat dari mana. Kalimat itu tiba-tiba muncul di kepalanya sesaat setelah ia menyadari bahwa tak banyak yang berubah di Smansa semenjak meninggalnya Aksa.

Kelas Aksa masih ramai seperti biasanya. Guru-guru masih bisa bersenda gurau dengan sahabat-sahabat Aksa. Program kerja yang seharusnya terlaksana sebelum kabar tentang Aksa memang resmi dibatalkan untuk menghormati kepergiannya, tapi kehidupan organisasi terus berjalan walau salah satu anggotanya hilang.

Bohong jika Raya tidak hancur. Bohong sekali.

Menerima kepergian Aksa saja sulit, ditambah fakta-fakta lain mengenai perasaan Aksa yang terus menghantui dirinya. Bagaimana mungkin Raya tidak hancur?

Ia melamun menatap ponsel yang menampilkan group chat kelasnya, memandang kosong tulisan-tulisan yang terus bermunculan di sana. Teman-temannya sedang bersuka cita membahas usainya ujian, dan salah satu chat yang terlihat membuyarkan lamunan Raya. "Ray, sehabis ini ada class meeting tidak?"

Gadis itu menghela napas, lantas menjawab chat itu dengan malas, "Entahlah. Aku 'kan sudah purna, itu urusan angkatan bawah."

Purna. Sudah purna.

Tak terasa, ia sudah berada di kelas dua belas sekarang. Sangat menyakitkan harus menempati ruang kelas XII Mipa 3 yang berhadapan langsung dengan kursi taman tempat ia menemukan jaket Aksa dulu. Pengalaman organisasinya juga sudah berhenti, baru beberapa bulan yang lalu regenerasi telah dilakukan.

Hampir setiap inci kehidupan mengingatkannya pada sang pujaan hati yang telah hilang direnggut semesta. Beruntungnya, Raya bisa menahan itu semua. Di depan banyak orang, Raya sama sekali tak terlihat larut dalam kesedihan. Bahkan, masih banyak yang tak mengetahui bahwa ia menyimpan rasa pada si lelaki.

Sekali lagi, Raya begitu pandai dalam menata perasaannya.

Gadis yang tengah duduk di teras rumahnya itu beralih untuk meraih secarik kertas yang sedari tadi berada di sebelahnya. Sebuah kertas yang dihiasi oleh goresan tinta bolpoin kesayangan Raya, goresan tinta yang menjelaskan seluruh isi hati Raya.

Hai, Aksa.

Saat ini, aku di rumah.
Dan kamu sudah surga:)

Sayang sekali, Sa. Aku tidak pernah tertawa setelah membaca suratmu itu, karena aku tidak pernah bertemu denganmu lagi.

Terima kasih juga karena selalu ada untuk menghiburku. Tidakkah kamu tau, senyummu itu juga sangat menawan?

Sa, seharusnya aku sadar, tapi nyatanya tidak. Semua pikiran burukku ini yang membuat kita berakhir tak bahagia. Andai saja aku tidak berprasangka buruk padamu, mungkin kamu masih di sini sekarang.

Aku juga takut, Sa. Aku juga takut untuk mengutarakan perasaanku padamu di tengah semua bisikan tentang hubunganmu dengan Prajna.

Bahkan tanpa pintamu, aku selalu di sini seperti bulan yang setia mengorbit bumimu, tapi kamu di mana sekarang?

Topik sejarah kelas dua belas sudah bukan tentang pembentukan alam semesta lagi, Sa. Aku yakin jika kamu masih di sini, kamu akan menyukainya.

Sa, aku juga bersyukur, di antara berjuta kemungkinan yang bisa terjadi saat alam semesta tercipta, kita masih ditakdirkan bertemu di bawah langit smansa.

Semoga bulan menghantarkan surat ini kepadamu.

Sampai ketemu di surga, Aksa.

Dari teman tersayangmu,

Raya.

Kedua sudut bibirnnya terangkat, netranya sudah berkaca-kaca. Membaca surat yang ia tulis sendiri bukanlah pilihan yang tepat untuk menghindari jatuhnya bulir air mata. Raya memang sudah memendam kesedihannya selama satu tahun, ia anggap ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa meluapkan segalanya.

   Surat ini memang sengaja ia miripkan dengan surat milik Aksa. Ia ingat, Aksa meminta untuk membalas suratnya jika mereka bertemu. Maka dari itu, inilah saatnya Raya membalas suratnya.

Lantas gadis itu menggulung secarik kertas di genggamannya, dan mengaitkannya pada sebuah balon yang sedari tadi juga berada di sampingnya. Raya bahkan masih ingat bagaimana ekspresi bundanya yang bingung kala melihat si gadis pulang sekolah membawa balon seperti anak kecil. Raya mengaku kasihan pada seorang kakek di pinggir jalan yang terlihat memprihatinkan kala menatap dagangan balonnya masih banyak. Padahal ia memang sengaja membeli balon itu.

Maka diiringi dengan satu tetes air mata dari netra kirinya, Raya melepaskan balon itu, membiarkannya mengudara dan membelah langit malam bersama dengan isi hati Raya yang tak pernah terungkapkan.

Raya menatap balon itu terbang menghampiri rembulan. Semoga surat itu bisa sampai pada si puan. Semoga semesta bisa menghantarkan surat itu pada sang pujaan hati yang telah hilang.

————————————————
'aksa' dalam kamus besar bahasa indonesia berarti 'jauh'.

Kita dan Takdir SemestaWhere stories live. Discover now