V. Sebatang Rokok

158 38 28
                                    

Perhatian! Ini adalah fiksi semata! Isinya mungkin tidak akurat dengan kebudayaan dan tradisi yang ada, karena penulis mengubahnya agar sesuai dengan alur cerita. Mohon maaf jika terdapat kesamaan nama dan tempat.

Lee Heeseung : Mahendra Cokrokusumo
Yoo Jimin/Karina : Sekar Andari
tokoh-tokoh lain : OC

***

Sebatang rokok

***

Alhasil setelah bosan hanya duduk saja ia pun bangkit, berjalan menuju meja kerja berbahan kayu jati yang ia gunakan sebagai tempat penyimpanan sedikit stok obat-obatan di pojok ruangan.

Grtttt

Laci meja kayu itu tertarik keluar, berbeda dari tempat penyimpanan gunting bedah dan alat-alat medisnya yang tadi. Laci ini hanya berisi satu buah barang, benda kotak berwarna putih tegeletak sendirian disana. Diambilnya kotak seukuran tiga jari orang dewasa itu, lalu kemudian ia buka.

Sebelum si tunggal Cokrokusumo itu mengambil isinya, ia sempat berfikir sejenak, menimbang-nimbang apakah dirinya harus mengambil benda itu atau tidak. Tapi kemudian dalam waktu beberapa detik kemudian, ia sudah mengeluarkan benda putih itu dari dalam kotak. Mengapitnya di kedua ranum, sebelum menyalakan pemantik untuk membakar ujungnya.

Asap putih tipis menguar dari bagian utara benda itu, aroma cengkeh dan tembakau mulai tercium. Mata sang raden tanpa sadar terpejam saat menghisap benda silinder putih yang bagian ujungnya terbakar bara api tersebut, membiarkan sensasi hangat masuk kedalam rongga dada dan membuat kepala yang tadinya berat perlahan sedikit menjadi lebih ringan.

Persetan dengan gelar dokter

Pikirnya, kepalanya penuh, dan ia tak punya apapun untuk menyalurkan kepenuhan itu agar sedikit berkurang kecuali dengan menyesap gulungan tembakau yang telah diracik sedemikian rupa sehingga menjadi sebatang rokok. Beberapa waktu yang lalu saat mendiang kakeknya meninggal ia juga seperti ini, diam-diam mengurung diri di kamar yang sama untuk merokok karena tidak ingin siapapun tahu bahwa ia yang seorang dokter juga merokok.

Meski tidak sering, tapi gulungan racikan tembakau itu memang selalu berhasil meredakan peningnya tanpa harus repot-repot meminum obat. raden Mahendra hanya merokok disaat kepalanya seperti mau pecah saja, selebihnya ia masih sanggup untuk menahan hasrat menghisap benda perusak paru-paru itu.

Jangan ditanya dari mana ia belajar mengenal gulungan tembakau, sebab mendiang Ki Ageng Cokrokusumo kakeknya adalah seorang perokok berat. Dulu saat mendiang masih hidup ia sendiri sempat mengingatkan sang kakek untuk berhenti merokok, itu semua ia lakukan karena Ki Ageng Cokrokusumo sudah sangat tua dan sering sekali batuk karena terus-terusan merokok.

Tapi sekarang dia sendiri malah jadi penikmat gulungan candu itu sama seperti sang mbah, salahkan pekerjaannya sebagai dokter yang selalu menguras bukan hanya tenaga tapi juga pikiran dan emosi.

Belum lagi keadaannya yang tinggal sendirian di kota, hal itu membuat Mahendra yang selalu berusaha memegang teguh prinsip untuk tidak terjun ke dunia malam jadi perlahan melonggar. Ia bukan orang suci, orang baik atau sejenisnya, Mahendra Cokrokusumo hanyalah seorang pria normal biasa.

Kadang jika teman-teman satu pekerjaannya mengajak keluar untuk bersenang-senang, ia juga tak akan menolak segelas cairan kekuningan penghilang waras yang membakar tenggorokan. Cairan kuning yang jika diminum lumayan banyak maka akan menghilangkan kewarasan, membawanya jadi tidak berakal selama beberapa saat sebelum menghasilkan pusing dan mual di pagi harinya.

Beberapa kali ia berakhir hilang akal dan tertidur di rumah temannya setelah usai minum, tapi itu lagi-lagi tidak terjadi setiap hari. Bahkan terhitung sangat jarang, sebab raden Mahendra lebih suka tidur di rumah setelah usai berkutat dengan pekerjaannya sebagai dokter yang menguras habis energi itu.

Lengkara TresnaWhere stories live. Discover now