Part 5

534 61 5
                                    

"Bu, kita mau kemana?" Tanya Darren saat ibunya tampak mengemas barang-barang mereka. Darren sudah mandi dan memakai pakaian yang bagus. Tapi sedari tadi ibunya tidak bicara mereka akan kemana.

"Kita akan ke kampung halaman kakek kamu. Kemarin ibu sudah menghubungi salah satu kerabat kita yang ada di sana. Ibu masih punya sepetak lahan di sana. Kemungkinan kita akan pindah ke sana."

Darren tidak mengerti kenapa mereka tiba-tiba pindah. Setahu Darren, ibunya tidak pernah mengatakan hal ini sebelumnya. Apa ibunya takut pada pria yang hampir setiap hari datang kemari itu?

"Ayo, kita berangkat. Ibu sudah memesan taksi."

Darren mengangguk saat ibunya selesai dengan kopernya. Mereka berdua kemudian keluar rumah dan naik ke taksi yang sudah menunggu di depan rumah mereka. Ibunya tampak gelisah, seperti takut dan selalu menoleh ke kanan dan kiri sebelum mereka menaiki taksi.

Setelah naik, perjalanan berlangsung tegang karena ibunya tidak bicara sepatah katapun dan Darren tidak berani bertanya. Ia hanya menyandarkan tubuhnya di pelukan sang ibu hingga tidak sadar kapan ia ketiduran. Darren terbangun oleh suara keras dan tubuhnya seperti membentur sesuatu.

Bruuuuk

Darren tidak tahu apa yang terjadi saat tiba-tiba tubuhnya terpisah dari tubuh sang ibu. Taksi yang mereka tumpangi seperti terguling karena menabrak sesuatu. Darren tidak tahu apa yang terjadi, ia hanya ingat, orang-orang mulai mengerubungi mereka dan ia melihat pria yang sering ke rumahnya menangis histeris sambil memeluk tubuh ibunya yang sudah tidak sadarkan diri.

**

Darren terbangun dari tidurnya dengan keringat yang mengalir di keningnya. Ia terduduk di ranjang sambil menyugar rambutnya yang berantakan. Mimpi mengerikan itu masih menghantuinya meskipun sudah puluhan tahun. Rasanya masih seperti mimpi dirinya kehilangan sang ibu karena kejadian tragis itu.

Darren berdiri kemudian berjalan menuju kamar mandi di kontrakannya. Sudah jam tujuh pagi dan jam delapan ia harus sudah berada di pabrik. Pekerjaannya sebagai kepala gudang membuat Darren harus tertib berangkat sebelum karyawan-karyawan yang lain.

Sudah empat tahun ini ia bekerja di pabrik makanan instan yang cukup besar. Dua puluh tahun yang lalu saat ibunya meninggal, Darren di titipkan oleh seseorang ke panti asuhan dan mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan ia bisa kuliah di universitas ternama. Terkadang Darren bertanya-tanya, bagaimana bisa ia mendapatkan pendidikan yang begitu bagus padahal ia hanya anak panti asuhan.

Setelah lulus kuliah, Darren mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus. Ia harus pontang-panting mencari penghasilan tambahan hingga ia bisa naik pangkat dan menjadi kepala gudang. Perjuangannya mendapatkan pekerjaan tidaklah semulus perjalanan pendidikannya. Namun Darren tetap bersyukur, meskipun sebatang kara, ia tetap bisa hidup dengan layak tanpa belas kasih siapapun.

Setelah mandi dan berpakaian rapi, Darren berangkat ke kantornya menaiki motor yang baru saja ia beli beberapa bulan yang lalu. Motor besar seharga tiga puluh juta ini cukup memudahkannya jika membeli sesuatu karena bagian jok nya yang lumayan besar.

Di tengah perjalanan, suara iring-iringan mobil pejabat membuat Darren memelankan laju motornya. Ia berhenti di dekat lampu merah karena ada beberapa polisi yang mengatur lalulintas. Sepertinya akan ada pejabat penting yang lewat karena jalan terlihat sangat steril. Bahkan motor Darren dan beberapa motor lain di beri kode agar sedikit meminggirkan kendaraannya.

Benar saja, beberapa saat kemudian iring-iringan mobil pejabat mulai terdengar. Entah siapa kali ini yang lewat, Darren merutuki mereka semua karena bisa menyebabkan beberapa orang terlambat bekerja.

"Kali ini iring-iringan siapa lagi. Bikin macet saja. Kalau begini setiap hari bisa-bisa para pekerja pabrik seperti kita di pecat masal."

Celetuk seorang pengendara motor yang ada di samping Darren. Darren yang mendengar itu hanya tersenyum tipis, mendengarkan beberapa pengendara lain yang juga berkeluh kesah lantaran takut terlambat ke tempat kerja p.

"Sepertinya Presiden. Itu ada beberapa Paspampres yang sudah ada di depan." Celetuk seorang pengendara lain.

Darren segera menatap ke depan, dan benar saja, beberapa Paspampres sudah berkendara di depan mereka. Beberapa saat kemudian, rombongan presiden lewat dengan pelan, menyapa beberapa pengendara yang tidak sengaja lewat.

"Benarkan, itu Presiden dan perdana menterinya."

"Hei, mana ada perdana menteri di negara kita."

"Panglima TNI, Pak Prasetya Hadiwinata, dia itu perdana menteri di negara kita. Sudah jadi rahasia umum, sebagian keputusan-keputusan besar Presiden adalah karena campur tangannya. Dia orang paling berkuasa di negara ini. Hanya saja semuanya tertutupi oleh posisinya."

"Anda benar Pak. Saya juga pernah mendengar seperti itu. Presiden itu tidak berkutik jika Pak Prasetya sudah memutuskan. Ia memegang kendali di militer. Makanya sebagian politikus, menteri dan DPR enggan bersinggungan dengannya. Mereka tidak mau bermasalah dengan Pak Prasetya."

"Waaaah, benar-benar tentara rasa presiden."

"Saya yakin, setelah dirinya pensiun nanti, Pak Prasetya akan mencalonkan diri sebagai presiden. Pengaruhnya luar biasa di dalam dan di luar negeri. Pasti para ketua partai akan berpikir ulang untuk menjadi lawan politiknya."

"Dia non partai kan, kenapa sangat berpengaruh ya?"

"Hanya tutupnya dia non partai. Aslinya partai petahana berada di tangannya. Sebagian besar keputusan partai petahana kabarnya juga di pengaruhi oleh panglima TNI. Dia benar-benar cerdas dan penuh perhitungan."

"Saya juga pernah mendengar, setelah pensiun nanti, Pak Prasetya berpeluang besar menjadi ketua partai petahana. Posisinya yang kuat membuatnya di lirik sana sini."

Darren hanya mendengar beberapa pengendara mengobrol di sampingnya. Ia tahu persis siapa yang di bicarakan oleh orang-orang itu. Prasetya Hadiwinata, orang paling berpengaruh di pemerintahan saat ini. Meskipun sudah puluhan tahun, Darren tidak akan pernah lupa pada wajah pria itu.

Iring-iringan Presiden sampai di hadapannya. Darren hanya mengamati saat sebagian orang turun dari motor dan menyalami sang kepala negara. Di samping Presiden, panglima TNI juga ikut menyapa para warga.

Seumur hidup Darren, ia tidak akan pernah melupakan pria itu. Pria yang membuat dirinya kehilangan ibunya. Pria itu kini tersenyum di hadapannya, menyapa warga yang nyatanya tetap berebut bersalaman dengannya meskipun dibelakang menggunjing habis-habisan.

Prasetya Hadiwinata. Pria itu kini tampak sangat bahagia setelah merampas kebahagiaannya. Bagaimana bisa pria kejam itu hidup dengan tenang setelah menyebabkan seseorang mati dan seorang anak kecil menjadi yatim piatu. Pria itu kini tampak sangat menikmati kekuasaannya.

Darren hanya memperhatikan dari jauh ketika pria itu menyalami para warga dari dalam mobilnya. Sekilas mata mereka bertatapan dan Darren segera mengalihkan tatapannya. Dalam hatinya yang paling dalam, Darren mengutuk pria itu agar suatu saat merasakan apa yang ia rasakan. Ia yakin dunia itu adil. Namun jika keadilan itu tidak ada, maka Darren yang akan menciptakan keadilan itu sendiri. Lihat saja nanti.

Kidnapping ( On Going )Where stories live. Discover now