Lima ; Janji Jean

Comincia dall'inizio
                                    

"Tapi Misya-"

"Jean," lirihku merayu Jean. "Kumohon, ya?"

Jean menghela napas berat. Mengangguk, mengiyakan permintaanku dengan tersenyum tipis. Akhirnya aku berhasil merayunya.

"Janji, kau harus on time minum obatnya. Makan juga jangan lupa, nanti aku jenguk beberapa kali bersama Geena atau karyawan yang lain."

"Tapi, Je. Itu merepotkan. Tidak us-"

"Siapa yang menyuruhmu menolak? Kau harus menurut apa kataku, calon istriku."

Kalimat terakhir Jean berhasil membungkam mulutku. Tercengang sekali mendengar perkataannya yang bahkan tak sedikit pun terlintas di benakku. Aku mulai bingung dan dilema dengan semua kejadian ini.

"Je, apakah kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu?"

"Aku masih kuliah," sambungku membuat Jean membisu.

Dia memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celananya seraya berucap, "Tapi bukan berarti tidak bisa menikah, kan? Kita akan menikah dan aku akan menunda untuk memiliki anak jika kita nanti sudah benar-benar bersama. Aku tidak mau kau lelah karena mengurus bayi dan juga tugas-tugas kuliahmu, aku akan berusaha memahami mu, Misya."

"Aku janji." Ia menyambung kalimatnya dengan tatapan tegas.

Mendengar perkataan dan tatapan Jean yang cukup meyakinkan membuatku pasrah. Tak mengerti harus berkata apa. Semakin aku berpikir tentang ini, semakin kepalaku sakit seakan dihantam sesuatu.

Akhirnya aku mengistirahatkan tubuhku dibantu oleh Jean. Sementara setelahnya ia izin untuk pamit karena mengurus administrasi kepulanganku. Jujur saja, aku berhutang budi banyak padanya karena Jean yang terlibat dalam masalahku sedari dulu. Aku merasa tak pantas untuknya.

××××

Kini Jean sudah membawaku pulang ke kosan tempatku tinggal. Dibantu oleh Geena dan satu karyawan laki-laki yang tidak kukenal namanya. Jean menungguku di sini sementara Geena dan temannya kembali ke kafe setelah mengantarku. Aku benar-benar beruntung memiliki Jean dalam kehidupanku.

"Jean ...," panggilku cukup lirih. Bahkan kurasa hanya telingaku saja yang mampu mendengarnya.

Aku terdiam kembali. Tak lagi memanggilnya. Jean masih fokus menghadap laptopnya dengan kacamata putih pemberianku sewaktu kita SMA dulu. Sungguh tak percaya, Jean masih menyimpannya. Sebenarnya aku ingin bertanya, tetapi Jean terlihat sangat sibuk, jadi aku hanya mengamatinya dari jauh.

Sesekali Jean melirik ke arahku, sambil beberapa kali mengangkat salah satu alisnya untuk menggodaku. Iya, tatapan Jean adalah kelemahanku. Dia tahu itu. Memang sial.

Sembari menunggu Jean selama beberapa jam, aku mendengar alunan musik klasik untuk merilekskan pikiranku sejenak. Sembari menatap wajah teduh Jean rasanya badanku berangsur pulih.

"Misya, aku sudah selesai. Mau ku belikan apa? Ini sudah waktunya kau minum obat."

"Tidak usah, kau di sini saja sudah cukup membuatku kenyang," ucapku masih fokus menatap wajahnya

"Maksudmu?"

"Eh, tidak, aku-" Aku terdiam, tersadar dengan ucapanku. Astaga, yang baru saja kubilang benar-benar terdengar ambigu. Jean pasti menganggap yang tidak-tidak. Ah, malu!

Jean menyeringai menatapku. Aku tahu pikirannya gampang terpancing pada hal yang buruk. Dia mendekat ke arahku yang masih terbaring di bilik selimut.

"Jean, stop!"

"Eh, kenapa? Aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Masih panas atau tidak."

Saat Jean berucap seperti itu, hatiku sangat lega. Napas ku kembali teratur. "Ah, begitu, ya? Maaf. Aku sudah enakan, kok."

Sepertinya memang pikiranku yang buruk, bukannya Jean. Oh, Tuhan. Untung Jean tidak berpikir macam-macam, Bisa dikeluarkan aku dari kos ini jika terjadi sesuatu antara aku dan Jean, batinku.

"Misya aku belikan bubur saja, ya? Atau sup? Kau suka sup?" tanyanya. Aku hanya mengangguk.

"Oke akan aku belikan setelah ini."

Entah dari mana datangnya pikiran ini, tetapi saat Jean hendak beranjak dari tempat duduknya untuk membelikan ku makanan, aku memanggilnya. "Je ...."

"Iya?"

Aku merentangkan tanganku penuh membuat Jean bertanya-tanya. Ia mengerutkan keningnya menatapku keheranan. "Apa?"

Pertanyaan Jean membuatku tidak mood seketika. Aku melengos ke arahnya dengan wajah kesal sambil melipat tangan. "Begitu saja tidak peka. Dasar laki-laki."

Tawa Jean memenuhi ruanganku seketika. Bisa-bisanya malah tertawa padahal tidak ada yang lucu dari semua ini. Aku sebal, dan dia tertawa. Benar-benar menyebalkan!

Kukira setelah itu Jean akan pergi, tetapi aku salah. Dia justru berjalan santai ke arahku, membantuku bangun, kemudian membawa tubuhku erat dalam pelukannya.

Jean berdecak, "Ah, dasar wanita. Bilang saja rindu atau minta peluk. Apa susahnya?"

Meskipun dia terlihat kesal karena ku, aku tak peduli. Yang terpenting adalah pelukan hangat dari Jean yang saat ini kudapatkan. Laki-laki ini selalu wangi, dari dulu.

"Sebenarnya aku tau, Misya. Tapi aku menunggumu saja yang langsung berbicara. Kukira kau jagoan karena mampu mengutarakan keinginanmu. Da, ya, ternyata kau cemen." Lagi, Jean berbicara penuh tawa meledekku habis-habisan.

"Aku adalah perempuan, dan aku bebas melakukan apa saja," tuturku bangga.

"Oh, begitu. Ya, sudah. Aku juga bisa," balasnya yang turut melepas pelukannya dariku.

"Ih, Jean!" Laki-laki itu berlari keluar seraya mengejekku dari jauh, depan pintu. Benar-benar kurang ajar!


~Bersambung

Intermediate Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora