I want Reni to be able to move forward without having to ask questions about her mother. I want her to be relieved after talking to her mother, whether the results are good or bad. At the very least, I want something to change about the problems Reni faces with her family.

Gue menyadari kalau genggaman tangan Ibu terasa semakin erat, nggak lama gue melihat senyum dan mata Ibu yang memerah waktu menatap gue. "Satu tahun mungkin akan jadi waktu yang singkat buat kamu dan Reni untuk menyelesaikan semua masalah dan menyiapkan diri kalian masing-masing, tapi, La, Ibu boleh minta tolong untuk temani Reni sampai dia bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan keluarganya? Tolong, ya, Nak.

"Ini bukan cuma soal Reni aja, tapi kalau semuanya nggak berubah—begini-begini aja—Ibu takut kalau kedepannya ini bakal mempengaruhi hubungan kalian juga." Ibu masih mengulas senyumnya, dan gue bisa melihat dengan jelas ada gurat penuh khawatir di kedua mata Ibu sekarang.

Without being asked, I had previously committed to doing all possible to make Reni happy and our relationship work. Cuma setelah kejadian beberapa hari lalu, gue tau kalau gue nggak bisa memaksa Reni karena kenyataannya semua ini juga nggak mudah untuk Reni selesaikan seperti kemauannya.

Setelah menghabiskan waktu makan siang bersama Ibu, gue kembali ke kantor bersama Rendi dan gue juga memutuskan mampir ke ATU meskipun gue nggak ada jadwal kerja di sana—bermaksud buat menjemput Reni sekalian.

Di kursi depan, Rendi tampak menolehkan kepalanya ke arah sekitar sebelum menoleh ke gue yang duduk di kursi belakang. "Ini kita di basement aja, Pak? Nggak mau turun dan masuk?"

"Nggak. Nunggu di sini aja," jawab gue dengan tatapan yang nggak lepas dari layar handphone di mana gue sedang bertukar pesan dengan Reni. "Kamu kalau mau turun, turun aja," kata gue asal.

"Saya... turun juga buat apa, Pak? Bapak mau pesan sesuatu memangnya?"

Nyaut mulu lo, Rendi!

Kepala gue mengangguk, "Mau pesan kamu supaya diam aja, sih, Ndi." Dan untungnya setelah jawaban barusan, Rendi nggak lagi bersuara.

Bukannya gue sensi ke Rendi, ya, tapi hari ini gue memang lagi nggak pengin diganggu. Pikiran gue lagi semrawut, dan berurusan dengan Rendi bisa memunculkan kemungkinan bikin pikiran gue makin amburadul.

Jadi, daripada nyautin Rendi, gue memilih fokus membalas chatting dari Reni sekarang.

Sayang 3
tapi kayanya aku lembur
gimana dong?

ya, gpp. aku tungguin di basement.
ini aku sama rendi

Sayang 3
nggak ngomel emangnya si rendi haha



Gue mendengkus, menatap ke arah depan—ke kursi yang diduduki Rendi tajam.






berani emang dia?

Sayang 3
hahahaha
ya udah deh, aku kerja dulu. aku usahain nggak lama-lama

santai aja, yang.
aku tunggu kok
semangat ya<3







Karena tau Reni lembur dan jam pulangnya nggak pasti, gue mengotak-atik iPad gue—membaca email dan mencicil beberapa pekerjaan sampai gue mendengar suara ketukan di kaca mobil di sisi kursi yang gue duduki.

Senyum gue terbit—nggak lama—sampai gue mendengar Rendi menyahut duluan sambil menurunkan kacanya, "Reni! Lo apa kabar? Astaga, udah lama nggak ketemu! Gue ada kali kirim pesan ke lo, tapi nggak lo bales sama sekali. Gila, boleh sesombong itu emangnya? Mau pulang, ya?" cerocosnya ke arah Reni yang kini bergerak mundur menjauhi mobil.

BELL THE CAT (COMPLETED)Место, где живут истории. Откройте их для себя