38). Loves

3.5K 352 7
                                    

"Putri...Putri! Syukurlah... Anda baik-baik saja." Thalia tampak berlari menghampiri Serenity saat menemukan wanita itu berdiri di dekat sebuah pintu. Pintu yang menghubungkan dengan aula utama singgasana Kaisar.

Untungnya, nona-nya itu dalam keadaan baik-baik saja. Sungguh, jantung Thalia rasanya mau copot kalau ingat ia sempat kehilangan jejak Serenity saat mereka pergi menyusup ke pasar raya.

Tapi...

"Apakah jatuh cinta merupakan sebuah dosa?"

Deg.

Kedua bola mata Thalia membola mendengar suara itu. Itu jelas suara Pangeran Mahkota Alastair. Dan, tunggu... Thalia bahkan baru sadar kalau kemungkinan besar saat ini Serenity tengah menguping—jika dilihat dari gelagatnya.

Duh, Thalia jadi menyesal. Apakah suaranya tadi terlalu keras sampai mengganggu pembicaraan di dalam sana itu.

"Alastair... Kau...."

"Yang Mulia Baginda Kaisar tenanglah." Tidak hanya suara Pangeran Mahkota. Ternyata terdengar pula suara Kaisar dan Permaisuri. Yang berarti, Serenity tengah menguping pembicaraan antara anak dan kedua orang tuanya.

"Bagaimana aku bisa tenang."  Di dalam sana, terlihat Kaisar Leonard yang tengah geram, menyentuh dadanya sendiri yang terasa nyeri. "Putra kita... telah membuat keputusan yang keliru, Permaisuri. Lihatlah! Dia seorang Putra Mahkota tapi bisa-bisanya...."

"Aku tanya sekali lagi, apakah jatuh cinta merupakan sebuah dosa?"

"Tidak akan menjadi sebuah dosa asal kau jatuhkan pada orang yang tepat, nak. Sadarlah putraku, wanita yang kau cintai itu adalah istri orang."

"Lantas... Aku harus apa ibu?" Alastair mengangkat pandangannya kali ini, menatap Permaisuri dengan pandangan berkaca-kaca. Dari sorot matanya, siapa pun tahu kalau perasaan Alastair tidak lah main-main. Calon pewaris takhta itu rupanya telah benar-benar terjatuh pada pesona istri sang Duke.

Seperti ibu pada umumnya, maka Permaisuri pun tidak tahu harus menanggapi bagaimana pertanyaan putranya itu. Yang jelas yang salah harus di benarkan. Meskipun dalam kasus ini, sangat sulit mengingat Alastair begitu keras kepala sampai bersedia meninggalkan tahkta sebagai calon pewaris hanya demi Helena Astoria.

"Aku tidak bisa menahan diriku. Aku sudah berusaha, tapi setiap detik, aku selalu teringat akan Helena."

"Wanita itu! Apakah wanita Jahanam itu benar-benar sudah menyihirmu hah!" Kemarahan Kaisar Leonard sudah tidak terbendung lagi saat lelaki paruh baya itu menaikkan intonasi nada suaranya. Sementara sangat Permaisuri masih terus mendampingi dan berusaha menenangkan suaminya itu. "Jangan bertindak bodoh hanya karena seorang wanita, Alastair! Ingat! Kau adalah calon pewaris takhta."

"Oleh sebab itu...."
Alastair yang sebelumnya masih tertunduk dihadapan singgasana ayahnya pun langsung menurunkan Mahkota di atas kepalanya untuk dia kembalikan. Hal itu sontak membuat kedua orang tuanya terkejut. "Saya ingin mengembalikan posisi pewaris takhta ini pada Yang Mulia Baginda Kaisar."

"ALASTAIR!"

Serenity yang mendengar dari balik pintu langsung membekap mulutnya dan melangkah mundur. Tidak sanggup lagi mendengar kelanjutan semua itu. Wanita itu kemudian beranjak pergi diikuti oleh pelayan pribadinya.

"Putri Mahkota...."

"Aku tidak tahu apa salah dan dosaku, Thalia. Sampai kisah percintaan ku selalu berakhir seperti ini."

"Anda tidak salah apa pun."

Serenity kadang berpikir, apakah selama ini kebaikannya masih kurang. Kenapa tidak ada timbal balik untuk semua hal positif yang telah dia lakukan. Serenity telah tumbuh besar menjadi orang yang baik dan penurut. Bahkan Serenity sampai pernah menangis hanya karena tidak sengaja telah menginjak beberapa ekor semut.

"Aku tidak minta banyak hal. Hanya satu saja agar kali ini dewa merestui hubunganku dengan Putra Mahkota. Tapi, beliau bahkan kini juga membuang ku."

Sungguh, Thalia tidak tega melihat Serenity yang menangis tersedu.

"Kenapa tidak ada yang peduli akan perasaanku. Apakah aku memang tidak layak mendapatkan cinta dari siapa pun."

"Putri tidak boleh bicara begitu."

"Sulit bagiku mengikhlaskan Juan kala itu. Tapi, berangsur-angsur aku berhasil pulih berkat diriku sendiri. Hatiku akhirnya sembuh dan mendapatkan cinta yang baru. Kupikir, kali ini dewa akan memihak ku, tapi nyatanya...." Serenity mengusap air matanya dengan kasar. Meski nyatanya percuma karena air mata itu terus mengalir turun dan tidak tahu caranya berhenti. "Apakah aku harus menjadi orang jahat agar mendapatkan yang ku mau."

Thalia menggelengkan kepala mendengar itu.

"Tidak. Tuan Putri tidak boleh berhenti menjadi orang baik. Percayalah, Dewa pasti telah menyiapkan hal yang baik untuk Anda."

"Tapi kapan?" Serenity menatap Thalia sambil meremas kedua lengan atas pelayan pribadinya itu. "Sampai kapan aku harus menunggu, Thalia. Lama-lama aku juga lelah."

"Itu...." Thalia tampak kebingungan sambil meringis. Tidak tahu harus berkata apa sampai menggigit bibir bawahnya sendiri. Sadar cengkeramannya pada kedua lengan Thalia terlalu kuat, Serenity akhirnya melepaskan pelayan pribadinya itu. "Maafkan aku, Thalia. Aku tidak sengaja menyakitimu."

"Tidak. Ini tidak sakit sama sekali." Thalia menggeleng lagi. "Saya tidak pandai memberi nasehat Putri. Tapi, yang bisa saya katakan, Anda tidak boleh putus asa dan jangan berpikiran negatif."

Serenity tampak menghela napas. Cukup panjang dan terdengar berat namun seulas senyuman tipis kembali terukir di bibir semerah chery itu.

***


"Caesar malam ini tidur di kamar ibu saja ya?"

"Memangnya kenapa?"

Duh, bagaimana cara Saras mengatakannya. Apalagi setelah tahu kalau keinginan Caesar untuk punya adik begitu besar, Caesar pasti akan menolak dengan tegas keinginan Saras karena tidak ingin mengganggu kedua orang tuanya. Entah apa yang Juan katakan pada bocah sekecil itu sampai Caesar saja mau mengalah dan menolak tiap kali Helena minta ditemani tidur. Katanya, Caesar tidak ingin mengganggu kegiatan ayah dan ibu saat membuat adik. Hey! Memangnya Caesar tahu membuat adik itu yang bagaimana dan seperti apa. Atau jangan-jangan Juan memang sudah meracuni otak suci putra kecilnya itu.

"Hiks...." Saras sepertinya perlu overacting. "Ibu sangat rindu tidur dengan Caesar. Apalagi katanya Caesar sebentar lagi harus kembali ke Academy. Bagaimana ibu bisa menanggung rasa rindu ini sendiri."

Caesar tiba-tiba terenyuh mendengar itu. "Ibu...."

Helena mengusap air matanya dengan kasar. Kemudian dengan sengaja berpaling membelakangi bocah kecil itu. Biarlah dia bertingkah kekanak-kanakan kalau dengan cara seperti ini Caesar bisa luluh. Ayo, semangat Helena! Tunjukkan bakat aktingmu itu!

"Waktu Caesar bersama ibu begitu singkat. Sedangkan bersama ayahmu...." Saras merinding membayangkan malam-malam selanjutnya yang akan ia lalui bersama Juan. "Ibu punya banyak sekali waktu dengan Ayah. Apa Caesar benar-benar tidak ingin membantu ibu melepaskan beban rindu ini."

"Ibu jangan menangis."

Caesar tiba-tiba turun dari atas kasur dan bersimpuh di hadapan Helena. Kedua tangan mungil Caesar bahkan mengusap air mata di wajah sang ibu.

"Malam ini, ibu milik Caesar. Ayah tidak akan Caesar ijinkan masuk ke dalam kamar kita berdua."

Saras tersenyum lebar mendengar itu. "Ibu sayang sekali sama, Caesar."

"Caesar lebih sayang ibu."

Caesar langsung menghambur ke dalam pelukan Helena yang merentangkan kedua tangan.

Meskipun Saras bukan Helena—wanita yang melahirkan Caesar. Saras berani bertaruh kalau kasih sayangnya pada bocah kecil itu tidaklah main-main.

Bahkan, jika di berikan kesempatan kedua untuk reinkarnasi lagi, apabila boleh memilih, rasanya Saras tidak keberatan apabila harus menjadi ibu dari bocah kecil dalam pelukannya ini.

Bersambung....

I Became a bad DuchessWhere stories live. Discover now