Mencoba menahan perasaan bahagia dan haruku, aku kembali menatap ke arah Tyas, Dira, dan Dara yang keliatan semakin terkejut. Mata mereka membelalak lebar setelah menukar pandangan ke satu sama lain.

Mbak Ririn tersenyum geli lagi, "Wah, berarti Bapak temen kita juga, ya, Pak? Bisa gitu nggak, sih, Ren?" Sekarang, Mbak Ririn menatapku sambil memangku dagunya. "Temanmu, teman Bapak. Gitu, Pak?" Lalu, Mbak Ririn mengarahkan tatapannya ke arah Hatalla lagi.

Kedua alisku terangkat ketika Hatalla mengangguk, wajahnya tampak santai—sama sekali tidak terganggu dengan ucapan Mbak Ririn barusan. "Bisa... Boleh...," balasnya di sela kegiatannya menuang air putih ke dalam gelas.

"Berasa mimpi, sih." Mbak Ririn bergumam pelan yang masih bisa aku dengar.

"Kenapa gitu?" sahutku cepat.

Kedua bahu Mbak Ririn mengedik bersamaan, dia menatapku dengan seulas senyum janggal—oh, I clearly made the wrong move... "Dulu, 'kan, tiap ketemu, kamu selalu ngeluh soal kerjaan, soal Pak Hatalla sampai nangis dan nekad mau pulang kampung segala, Ren. Inget, dong? Itu dulu udah jadian sama Pak Hatalla belum?"

Kepalaku menggeleng, sementara bibirku mengulas senyum geli.

"Oh, ya? Sampai nangis dan pengin pulang ke Malang?" Hatalla menyahut, ia sepertinya sangat tertarik dengan topik obrolan yang baru saja dibuka Mbak Ririn.

Dulu, aku masih ingat bagaimana besarnya perasaan bersyukurku ketika tahu Pak Werni memberikanku tawaran untuk bekerja di ATU—perusahaan pertambangan besar milik keluarga Adiwangsa. I cherished every moment there and worked hard to gather as much knowledge as possible before being transferred to work for Hatalla.

Awalnya aku berpikir kalau aku mendapatkan hasil dari segala hal yang aku usahakan setelah tahu kalau aku akan bekerja di sisi Hatalla, tapi setelah tahu kenyataannya—I have never gone a day without sobbing or whining. Rumor yang mengatakan kalau bekerja dengan Hatalla harus siap mental memang benar. I felt like I was in the military during my early years working with Hatalla.

Melelahkan, dan menyiksa batin.

Mbak Ririn sendiri keliatan begitu menikmati untuk membuka aibku di depan Hatalla, dia mengangguk dan melanjutkan, "Katanya dia mau cari kerja aja di Malang. Nggak pa-pa, asal nggak di sini dan nggak kerja sama Bapak," ucapnya memberitahu bagaimana tantrumnya aku dulu melawan ketantruman Hatalla saat kerja.

Duduk di sebelah Hatalla, aku memilih diam dan membiarkan Mbak Ririn mengungkap semua apa yang ingin diungkapkannya di depan Hatalla. I enjoyed the story just as much—it was like going down memory lane, when I used to loathe and love Hatalla at the same time.

Aku ikut mengangguk, "Dulu rasanya beneran kapok terima tawaran jadi personal assistant-nya Hatalla. Nggak kuat." Kepalaku sekarang menggeleng, membuat Mbak Ririn tertawa dan Hatalla mendengkus di sebelahku.

"H... Ha... Hatalla?" Tyas bergumam, ucapannya bahkan terputus-putus—menarik perhatian kami semua.

Oh, kecepetan, ya?

Mereka aja belum terbiasa dengan sosok Hatalla di sini bersamaku, dan pastinya mereka semakin nggak terbiasa waktu mendengar aku menyebut nama Hatalla tanpa Bapak—nggak seperti biasanya.

Aku sontak meringis, sementara Mbak Ririn menyahut, "Ya, manggilnya masa' harus Bapak? Kan, Reni sama Pak Hatalla pacaran. Gimana, sih?" Mbak Ririn lalu kembali meluruskan tatapannya, menatap ke arahku dan Hatalla. "Tapi, waktu itu aku bilang buat bertahan dulu, 'kan, ya, Ren?" lanjut Mbak Ririn kembali menyambung obrolan kami sebelumnya. "Selain karena sayang sama kesempatan dan usaha yang udah kamu dapat, aku juga tahu kalau Pak Hatalla udah suka sama kamu di awal-awal kamu kerja sama Bapak." Tawa kecil Mbak Ririn keluar di akhir kalimatnya.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon