"It's like they are digging their own graves." Jonathan—salah satu tim yang juga bekerja dengan Jeremy—menimpali yang diangguki Jeremy juga.

Untuk masalah ini, gue bingung harus memberikan reaksi semacam apa sekarang. Gue mau lega juga nggak bisa, mau marah juga jatuhnya jadi ambigu.

Gue sendiri juga nggak sebodoh itu—bahkan Reni pun tau—kalau bukan dari kita—bukan dari Reni-nya sendiri—keberadaan Reni ataupun sosoknya yang diakui nggak pernah lahir di dunia ini—nggak akan pernah keluar dari bibir Ibu Mita dan keluarga Pramana, apalagi setelah keributan dan kehebohan yang sudah dibuat mereka sebelumnya.

Miris, ya?

Gue nggak habis pikir, sih, sama kelakuan Ibu Mita—apa pun alasan yang melatarbelakangi keputusannya—dan juga Frederic Simons.

Kalau Frederic Simons... He was obviously a jerk from the start. Gue pikir awalnya akan ada yang berbeda, mengingat Frederic Simons yang keliatan segitu ingin taunya soal Reni, but now we can watch how he behaves, right?

Jujur aja, gue sempet dibuat kalang kabut juga waktu kepikiran kalau Frederic Simons bisa aja 'menggunakan' Reni untuk menyerang balik keluarga Pramana dan Ibu Mita. Tapi, gue mikirnya kejauhan karena pada kenyataannya, sampai sekarang Frederic Simons malah nggak pernah mengakui Reni.

Gila emang.

Mereka-mereka aja, maksudnya.

"Kalau Frederic Simons?" Rasanya lidah gue rasanya gatel banget waktu nyebut namanya barusan.

"Kurang lebih sama, Pak." Jeremy menimpali cepat. "Frederic is now busy with his new enterprises, especially now that the media attention has died down. Kalau soal Ibu Reni, sih, saya juga menjamin kalau Frederic Simons nggak akan pernah berani 'menggunakan' Ibu Reni juga, Pak," jelasnya masih dengan nada yakin yang sama seperti sebelumnya.

Oke, jadi untuk beberapa saat kedepan, bisa dibilang kami bisa tenang sebentar. Gue dan Jeremy beserta timnya memutuskan untuk mengakhiri sambungan video call setelah menyelesaikan meeting singkat untuk membahas rencana yang akan kami lakukan kedepannya untuk beberapa masalah penting yang harus kami perhatikan baik-baik.

Nggak ada semenit gue berniat istirahat sebentar, suara ketukan terdengar dari arah luar pintu sebelum sosok Rendi muncul. "Maaf, mengganggu waktunya, Pak," ucapnya sambil berjalan masuk setelah gue menganggukan kepala singkat.

"Bukannya meetingnya udah selesai, ya?" Sebelum menghubungi Jeremy tadi, gue harusnya sudah menyelesaikan meeting terakhir hari ini. "Ada meeting dadakan lagi?" tanya gue yang langsung membuat Rendi menggelengkan kepalanya.

Akhir-akhir ini, pekerjaan gue di sini—di Kominfo—lagi padat-padatnya banget. Udah satu bulanan ini, gue sama sekali nggak dapat libur sama sekali dan mendadak kunjungan gue ke luar kota jadi lebih banyak dari sebelumnya. Ngerti aja, 'kan, ya, kalau gue lagi puyeng-puyengnya, terus mendadak kerjaan gue jadi banyak banget kayak sekarang?

What a rare coincidence, right?

Rendi berhenti di depan meja gue dengan iPad di tangannya, "Malam ini, Bapak reservasi tempat di Amorelis, 'kan, ya? Saya ke sini cuma mau mengingatkan dan minta konfirmasi saja, Pak."

Oh, soal itu... "Iya." Gue mengangguk. "Saya ada reservasi di Amorelis untuk makan malam. Tolong kamu follow up langsung ke restorannya, ya, Ndi," kata gue sambil mengecek handphone yang sejak meeting tadi nggak sempat gue periksa sama sekali.

"Baik, Pak." Gue mengangguk lagi karena fokus gue terpecah karena membaca pesan dari Reni. "Nanti ke sananya mau diantar atau bagaimana, Pak?"

Kepala gue menggeleng, "Nggak usah. Nanti saya bawa mobil sendiri aja. Kamu sama Pak Surya bisa langsung balik duluan," jawab gue yang sudah pasti mengundang senyum bahagia Rendi tanpa perlu gue liat sekalipun.



BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now