empatbelas

12 3 0
                                    

Gue berhenti tepat didepan pintu saat melihat seorang gadis ada disana. Entah sudah berapa menit gue melihat kedinginan dimata pria yang sedang disuapi itu. Tapi sepertinya memilih untuk tidak masuk adalah hal yang tepat sekarang.

"Nana?"

Gue berbalik, mencekam bingkisan buah yang hampir saja gue jatuhkan karena sedikit terkejut.

"Ngga masuk?"

Gue terkekeh, pandangan gue tertuju pada wanita yang membawa mukena putih dan sajadah yang sudah terlipat rapih. Jangan lupakan sebungkus makanan disisi tangan satunya.

"Takut ganggu, Tante"

Bundanya Biyan tersenyum sambil membuka pintu ruang inap pria itu. Menampilkan kedua manusia yang menoleh saat Bundanya Biyan masuk.

"Masuk, Na"

Gadis itu berdiri disusul senyum manis dibibirnya. Pipi yang sedikit menggembung dan manik mata yang berbentuk bulan sabit terbaik. Ini pertama kalinya gue ngelihat gadis itu dari dekat. Gadis yang akhir akhir ini lagi gue kepoin perannya di hidup Abiyan.

"Iya, tante" gue berjalan mendekat, meletakkan parsel buah di meja yang penuh dengan bingkisan lainnya. Namun sepertinya masih muat jika hanya ditambah dengan bingkisan yang gue bawa.

"Silahkan duduk, saya pamit sebentar"

Gue tersenyum melihat gadis itu berpamitan. Bukan untuk keluar tapi untuk masuk ke kamar mandi.

"Abi"

Pria itu belum juga mengalihkan pandangannya semenjak gue masuk. Gue bisa lihat infus masih tertancap di tangannya. Jangan lupa beberapa perban yang melingkar di tangan dan kepala.

"Gue baik baik aja, Na"

"Kalau baik baik aja ngga akan ada disini, Bi"

Biyan tersenyum. Kali ini pria itu mengalihkan pandangannya pada jendela. Melihat sibuknya kota Jakarta dari atas gedung rumah sakit.

"Lo ngga ikut geng motornya Gibran kan, Bi?"

Biyan terkekeh, "engga lah"

"Sholat dulu yang bener, belajar jadi imam dulu sebelum lo tau kalau hal kaya gitu ngga baik, Bi"

Biyan menoleh, tentu membuat kita saling pandang. Gue meraih tangan kanan Biyan yang dingin, sambil sesekali mengusapnya untuk menyalurkan kehangatan.

"Harusnya pagi itu gue nyegah lo buat ngga pergi"

"Belajar agama dulu yang bener, kalau segala hal ngga melulu perlu di sesali, Na"

"Iya, kan takdir"

"Gibran gimana?"

"Belum sadar" gue cuma bisa diam setelah pertanyaan itu terlontar.

Semalam, semenjak dokter keluar dari ruangan, Gibran sempat sadarkan diri sebelum akhirnya kembali dalam keadaan koma. Bahkan seharian ini gue belum balik kerumah, buat nemenin dia tidur di kamarnya. Belain bolos karena ada beberapa hal mengganjal kalau gue ninggalin dia.

Ngga ada yang dateng kecuali Haris, Daffa, dan teman tongkongan Gibran. Bahkan agaknya cuma Gue dan Haris yang bisa selalu stand by buat dia.

Untuk saat ini kenapa gue bisa luangin waktu jengkuk Abiyan, ya karena Haris udah bisa gantiin buat jaga, dan Ibunya Gibran juga baru saja datang setelah balik dari kantor. Gue masih punya cukup waktu juga buat ganti baju dan beliin buat buat Abiyan.

"Lo bisa bantuin gue?"

"Apa?"

"Ceritain kronologinya ke polisi, gue butuh pengakuan dari lo suapaya bisa ngungkapin siapa dalangnya, Bi"

Abiyan mengangguk pelan.

Sebenernya gue ngga mau maksa Biyan untuk bicara soal ini ke polisi. Karena dia juga baru saja sadar. Gue yakin dia masih punya sedikit trauma atas apa yang terjadi kemarin. Tapi tanpa pengakuan dia, semuanya akan sia sia. Karena cuma ada dia, Daffa, dan Gibran yang lagi koma di tempat kejadian. Selebihnya? Bahkan Haris baru datang setelah Gibran terkapar di jalanan.

"Gue ngga akan maksa lo,"

"Gue bakal ceritain yang gue inget, Na" gue lihat Abiyan mengangguk sambil mengusap punggung tangan gue. Sebelum akhirnya mengusap pipi kanan gue yang sudah lebih dulu basah.

Rasanya cukup pilu melihat keadaan Gibran yang hidup pun harus dibantu alat dari rumah sakit. Ditambah keadaan Abiyan yang penuh lebam. Bukan untuk siapapun keadilan ini kecuali untuk kedua pria itu.

"Jangan nangis"

Gue menunduk, melepas genggaman setelah gadis itu keluar dari kamar mandi. Mengusap sisa air mata dipipi.

"Ian, aku harus pulang buat urus dokumen kantor"

Gue dan Biyan kali ini menoleh. Tepat saat gadis itu meraih tasnya di sofa dan juga berpamitan dengan Bundanya Biyan yang sembari tadi makan di balkon.

"Nanti aku kesini lagi" gadis itu memberikan pelukan singkat sebelum melempar senyum ke arah gue, dan pergi.

"Gue juga kayanya harus balik, Bi"

Abiyan mengalihkan pandangannya ke gue saat lihat pintu tertutup kembali. Memastikan gadis itu sudah pergi, Biyan justru mencegah gue untuk pergi dengan menggengam tangan kiri gue.

"Adista bukan siapa siapa, Na"

Gue berbalik dan terkekeh, "ngga ada urusannya sama gue?"

"Gue ngerasa pantes bilang ini karena gue suka sama lo"

Gue menelan ludah susah payah. Memang boleh jatuh hati dengan dua orang sekaligus? Maksudnya, gue ngga bener bener ada di titik dimana gue jatuh cinta sama Gibran ataupun Abiyan. Tapi,

"Gue udah berulang kali bilang ke dia buat ngga dateng lagi"

"Abi, gue ngga perlu tau lebih jauh" suara gue sedikit bergetar, melepas genggaman tangan pria itu sambil menatap manik berair Biyan.

"Gue telat ya?"

"Maksudnya?"

"Gibran ada lebih dulu bilang ke elo?"

"Bi, fokus sama kesembuhan lo dulu, habis itu kita bahas ini lagi ya?"

Biyan tersenyum sumbang. Gue bisa lihat ada beberapa penyesalan dibalik pandangan pria itu terhadap gue.

"Jangan berpikir kalau gue nolak lo, Abi" kali ini gue berusaha menghibur Biyan. Pria itu sudah ada didekapan gue saat dimana nama 'Abi' gue lontarkan dengan senyum.

"Kita masih kecil tau! Ngga boleh pacaran," gue tergelak.

"Kata Bunda"

'°•°'

'°•°'

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)Where stories live. Discover now