limabelas (18+)

18 4 0
                                    

Ini hari ketiga setelah Gibran dinyatakan koma, tepat saat gue baru aja balik dari sekolah, dan memilih buat bersih bersih disana. Pria itu sadar dan gue jadi satu satunya orang yang pertama kali dia lihat setelah koma.

Ibu nya Gibran ada meeting dengan klien dari China dan baru aja bilang sama gue bakal datang sedikit terlambat dari jam pulang kantor. Sementara Haris dan Daffa, mereka sedang sibuk mengurus kasus yang terjadi pada Gibran di kantor polisi.

Banyak benturan yang dialami Gibran, membuat kepalanya mengalami beberapa trauma yang sulit sekali gue pahami kalau dokter yang bilang. Apapun itu, gue selalu berharap Tuhan masih punya belas kasih untuk Gibran tetap hidup.

Agaknya, doa anak sholehah selalu dijabah. Gue bisa ngelihat lagi Gibran bernapas didepan gue. Dengan dokter yang kembali memeriksa keadaan pira itu. Beberapa alat yang akhir akhir ini menempel di tubuh Gibran satu persatu mulai dilepas.

Gue menitihkan air mata tepat saat Gibran menatap gue balik, dia masih inget gue ngga sih?

Ya walaupun sedikit lebay kedengerannya. Na! Dia cuma koma tiga hari! Tapi rasanya kaya tiga tahun. Gue kehilangan kenangan kenangan singkat kita saat Gibran koma.

Gue menghela napas. Tangan kekarnya itu meminta gue mendekat. Tepat saat Haris dan Daffa baru saja membuka pintu tangisan gue pecah, pelukan yang selama ini tak berbalas, dibalas sang pemilik. Jangan lupakan senyum manis pria itu. Bahkan dalam keadaan sakit dan baru sadar dari koma pun, Gibran tetap Gibran yang tampan.

Gue bisa merasakan kehangatan saat tangan itu membalas pelukan gue. Walau gue yakin Gibran justru kedinginan karena air mata gue yang tak kunjung berhenti.

"Gib" suara berat Haris menguasai ruangan.

Kedua pria itu mendekat.

"Ternyata elo yang selalu minta gue bangun, Na"

Tangis gue kembali pecah. Suara yang selama ini gue rindukan kembali terdengar. Diikuti dengan tangis diam diam Haris yang dirangkul Daffa.

Setiap malam dan setiap siang, saat dimana tak ada siapapun yang menemani Gibran. Gue selalu ambil andil ngebisikin pria itu untuk segera bangun.

Ada dunia yang menangis melihat Gibran terkapar. Ada banyak teman yang merindukan gelak tawa pria itu. Ada rasa sesal dari balik persahabatan yang hanya jadi kata 'seandainya'. Ada air mata yang selalu seorang Ibu pendam dan panjatkan agar sang buah hati segera bangun.

Ada sesak dada yang selalu merindukan, peluk kasih yang selalu ingin terbalas, ada gue yang selalu berharap kemungkinan itu adalah Gibran bisa bangun kembali.

"Makasih udah bertahan, kamu hebat, Gib" sesak gue sebelum bangun untuk kembali menatap.

"Jangan nangis" tangan Gibran yang bergetar mengusap kedua pipi gue yang basah. Gue ngga akan pernah bisa mendeskripsikan wajah gue sekarang. Pasti kedua mata gue udah merah bengkak dan hidung gue kaya tomat ceri busuk!

"Lo mau makan ngga? Laper ngga udah tiga hari ngga makan? Gib,"

"Na, makanannya di bantu infus" Daffa kali ini menyela. Membuat Gibran terkekeh melihat gue yang sibuk melontarkan beberapa pertanyaan.

"Gue kira lo mati"

Gue melempar tatapan tajam pada Haris yang lantas duduk di kursi samping ranjang. Menatap sahabatnya yang masih cukup lemah dalam menanggapi ucapan Haris.

"Gue bawain makanan, gue yakin lo belum makan" Daffa meletakkan empat kotak makanan di meja sambil merebahkan tubuhnya disofa.

"Kara lagi otw"

Sementara Haris? Pria itu belum beranjak dari duduknya, dia masih ingin melihat sahabatnya itu walau dalam keheningan. Mungkin dia merindukan kebersamaannya bersama Gibran. Yang tiga hari terakhir harus dilewati tanpa kehadiran sahabatnya.

Ai ajuns la finalul capitolelor publicate.

⏰ Ultima actualizare: Apr 06 ⏰

Adaugă această povestire la Biblioteca ta pentru a primi notificări despre capitolele noi!

𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum