empat

18 5 0
                                    

Selepas anterin Bunda ke pasar sore. Gue milih nongkrong di teras, sama Kara. Ya, gadis itu datang sepuluh menit sebelum gue sampe rumah. Bahkan ditemani Daffa dan Biyan.

Kenapa sih hari ini gue harus ketemu Abiyan terus? Kaya bosen tapi engga, ngerti ga?

Biyan dengan hoodie dongker dan celana panjang abu abu, stelan yang tentu berbeda dari pagi tadi. Wangi vanilla yang mulai sekarang akan jadi ciri khasnya Biyan mulai semerbak.

"Kalian mau minum apa?"

"Ngga usah, tante. Kita mau keluar kok" kali ini suara Kara mendominasi. Tidak ada breafing apapun, kenapa gadis itu mengatakan hal demikian? Membuat tatapan Bunda jadi aneh saja!

"Boleh ga?" Nada bicara gue terdengar cukup pelan.

"Oh begitu ya"

"Bun,"

"Kamu tanya Ayah," ucap Bunda pelan sebelum kembali masuk ke dalam.

"Kar, lo yang bener aja! Jam berapa ini?!" Suara gue emang pelan tapi penuh tekanan. Daffa dan Biyan yang sembari tadi ngeliatin kita berdua hanya bisa diam.

"Jam lima"

"Kalian pergi aja bertiga, gue pasti ga bakal diijinin" gue sedikit menunduk.

"Biar gue bantu omong"

Kara, Daffa, dan gue bersamaan menoleh. Menatap Biyan yang justru memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.

"Yang penting jangan lupa sholat kan, Na?"

Gue diem, sejak kapan Biyan memperhatikan hal hal tentang gue? Oh atau gue aja yang ke-pd-an?

Pria itu beranjak saat Ayah datang sambil membawa sekotak rokok di tangannya. Jangan lupa korek api yang ada di sisi rokok itu. Gue dan pasangan sejoli itu lebih memilih menjauh dari pada harus menerima fakta yang tidak sesuai ekspektasi nantinya.

Gue ga tau apa yang Biyan omongin sama Ayah sampe akhirnya dibolehin keluar jam segini. Padahal biasanya, jam lima sore adalah jam terlarang bagi gue dan Jihan melewati gerbang rumah.

Jadi, disinilah gue sekarang. Diatas motor vario berdua bersama Biyan dengan keadaan canggung. Mengikuti Daffa dan Kara yang jadi petunjuk arah.

"Lo bilang apa ke Ayah?" Tanya gue sedikit berteriak, bersamaan dengan kaca helm yang gue naikin.

"Kalau Adzan pasti mampir dulu ke masjid, jangan lupa ga boleh sampai jam sepuluh"

Gue tersenyum. Ga tau kenapa, tapi rasanya sedikit sejuk aja pas dia ngomong kayak gitu. Walaupun gue ga tau yang Biyan omongin itu fakta atau cuma omongan yang dibuat buat buat.

"Kenapa?"

"Apanya?" Gue sedikit mendekat.

"Kok diem?"

"Engga, tumen aja Ayah ngijinin. Biasanya sebelum magrib rumah udah harus dikunci"

"Takut maling masuk?"

"Takut setannya masuk ga bisa keluar, kata Ayah ntar malah anak anaknya ngikutin jadi setannya" gue menatap spion, menampilkan Biyan yang tersenyum sambil terus fokus nyetir. Bukannya seneng gue malah jadi ragu, ga mungkin kan tadi pas gue senyum senyum dia ga ngeliat?

Oh ayolah! Gue malu!

"Kita mau kemana?"

"Ga tau" ucap gue.

"Bisa request jangan jauh jauh ga sih?"

"Kenapa?"

"Takut kemaleman nganterin lo lah"

"Bukan perkara jauh atau deket, perkara nongkrongnya lama atau engga" degus gue. Gue ga akan bisa nyangkal hal itu. Kalau udah sama Daffa dan Kara ditambah kehadiran dua kurcaci itu pasti akan berujung main game berjam jam.

Untung saja hal yang sudah gue pastikan terjadi tidak terjadi buat hari ini. Ngga ada Haris ataupun Gibran dan itu artinya kita bisa pulang lebih awal. Walaupun dengan dalih takut dimarahin Ayah dan ninggalin dua bucin itu di cafe.

Kurang lebih, jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Tepat saat Biyan berhenti di depan gerbang rumah.

"Udah ngantuk?"

"Dikit"

"Gih, besok upacara"

"Emang lo yakin besok upacara?"

Biyan mengangguk pelan. Bukannya kembali menyalakan motor dan pulang, dia justru membuka ponselnya.

"Nomor lo?"

"Aneh ya kita," gue terkekeh sambil mengisi nomor WA gue di ponselnya "udah hampir dua bulan tetanggan ga saling save"

"Sebenernya buat apa juga, kalo apa apa tinggal saling teriak"

Gue tergelak, menyerahkan kembali ponselnya.

"Ya kali kalo misal lo minta di bangunin gue teriak kaya orang tolol"

"Boleh dicoba besok"

"Perlu pake pentungan ga?"

"Iya, kan sambil ngeronda buat bangunin saur" Biyan menyalakan motornya dan mulai beranjak.

"Mimpi indah"

Gue tersenyum, ga reflek tapi beneran senyum yang gue buat dari diri gue sendiri. Rasanya kaya ngelihat diri Biyan yang beda aja dari hari hari lalu. Dia jauh lebih sweet semenjak ngobrol sama Ayah tadi. Ya walau ga cuma sekali dua kali gue tau dia sering ngobrol sama orang rumah.

'°•°'

'°•°'

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
𝑨𝒃𝒊𝒚𝒂𝒏 - Jeongwoo (On Going)Onde histórias criam vida. Descubra agora